Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saat membahas definisi علم (‘ilm), Abu Ishaq asy-Syirazi dalam Syarh al-Luma’ menyebutkan definisi ‘ilm menurut mu’tazilah, yaitu: اعتقاد الشيء على ما هو به مع سكون النفس إليه (i’tikad terhadap sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, disertai tenangnya jiwa atas i’tikad tersebut). Lalu beliau membantah definisi ini pada beberapa sisi, salah satunya adalah bahwa orang awam kadang memiliki i’tikad terhadap sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, disertai tenangnya jiwa atas i’tikad tersebut, namun hal itu tidak bisa disebut sebagai ‘ilm.
Beliau melanjutkan, jika ada yang membantah, bahwa syarat i’tikad ini menjadi ‘ilm adalah “tenangnya jiwa atas i’tikad tersebut”, sedangkan jiwa orang awam tidak tenang atas perkara yang dia i’tikadi tersebut, maka bisa dijawab bahwa sering kali orang awam jiwanya jauh lebih tenang terhadap hal yang diyakininya dibandingkan orang alim. Bahkan seandainya si awam diancam dengan pedang untuk meninggalkan i’tikadnya, dia akan tetap bertahan dengan i’tikad tersebut.
Orang awam, karena ketidaktahuannya terhadap dalil, ketika dia meyakini (mengi’tikadi) sesuatu, dia akan memegangnya sekuat-kuatnya. Sebaliknya, orang alim yang paham dalil dan seluk-beluknya, lebih mudah meragukan hal yang sebelumnya telah dia i’tikadi ketika ada kesamaran yang dia temukan.
Orang alim, karena pengetahuannya yang luas, mengetahui berbagai kemungkinan (ihtimalat) sehingga sulit sekali untuk mengi’tikadi salah satu ihtimal tersebut, hampir setiap ihtimal yang dia temukan, dia ketahui titik lemahnya. Berbeda dengan orang awam yang tidak tahu hal itu semua, jika dia mengi’tikadi satu perkara, baik karena taklid pada satu orang alim atau mengikuti kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakatnya, dia akan menjadikannya satu-satunya kebenaran, sehingga sulit sekali untuk mengubah keyakinannya tersebut.
Kita di sini tidak akan berpanjang lebar membahas definisi ‘ilm, pandangan mu’tazilah maupun pandangan asy-Syirazi sendiri soal definisi ‘ilm ini. Di sini saya hanya tertarik membaca pernyataan asy-Syirazi tentang orang awam ini, bahwa sering kali mereka jauh lebih tenang dan lebih mantap keyakinannya terhadap satu perkara dibandingkan orang alim yang saking luasnya pengetahuannya sulit untuk menetap dalam satu perkara tanpa keraguan.
Di satu sisi, ada dampak negatif, yaitu sulit untuk meluruskan orang awam ini, jika perkara yang dia yakini (i’tikadi) sebenarnya batil. Mengajukan berbagai dalil dan argumentasi, hampir tak berguna, karena mereka tak memahaminya. Mengajak mereka berpikir secara logis dan terstruktur, juga sulit, karena mereka tak terbiasa dengan itu. Layaknya orang-orang awam yang sok kokoh di zaman sekarang.
Namun, di sisi lain, ada dampak positif, selama pendapat yang dia pegang ada ihtimal kebenaran dan selama dia fokus pada amal pribadi (baca: tidak mengusik amal orang lain), maka keberagamaannya jauh lebih sederhana dan menenangkan dibandingkan orang alim yang isi kepalanya senantiasa berisi kerumitan.
Dia bisa shalat, puasa, dan melakukan berbagai amal lainnya sesuai madzhab yang dia ikuti (mengikuti fatwa kiyainya) atau mengikuti tarjih syaikh atau ormasnya, tanpa perlu disibukkan dengan adu dalil, tanpa harus sibuk melihat pendapat-pendapat lain di luar sana, karena dia sudah meyakini pendapat yang dipegangnya itu benar dan tak perlu diutak-atik.
Dalam persoalan akidah pun, dia juga bisa berakidah secara sederhana, layaknya orang-orang awam di era salaf, yang tidak menghabiskan waktunya berdebat persoalan rumit soal nash-nash sifat atau definisi ini dan itu. Iman yang sederhana, yang kadang malah lebih selamat dari berbagai syubhat yang membuat seseorang ragu dengan keimanannya. Karena sederhana, dia lebih bisa fokus mengejawantahkan keimanannya pada amal, amal yang akan mewujudkan kebahagiannya (sa’adah) di dunia dan akhirat.
Adapun orang alim, mereka berada di lembah yang berbeda, dengan tugas dan tanggung jawab berbeda.

Leave a Reply