Oleh: Muhammad Abduh Negara
Kita itu punya krisis identitas dalam berbangsa dan bernegara. Kalau yang diinginkan adalah mengakomodasi semua agama untuk diangkat besar-besaran sebagai identitas negara dan kearifan lokal yang didukung negara, maka kita harus terima di tempat-tempat publik ditampilkan berbagai patung dewa-dewi, atau dibuat ritual sesajen, dll. Kita tidak bisa protes, karena negara kita memang identitasnya seperti itu. Menjadi wajar juga, wacana di tiap kampus disediakan tempat peribadatan semua agama. Dan seterusnya.
Kalau yang diinginkan sekularisme ekstrim yang beririsan dengan komunisme, seperti di Uni Soviet atau China era Mao Tse Tung, maka tidak boleh ada satu pun agama yang tampil di depan publik. Semua hal berbau agama harus disingkirkan dan diberangus dari tempat umum. Kalau yang diinginkan sekularisme liberal ala Barat, maka negara tidak mengangkat satu agama pun dalam kehidupan bernegara, meski lebih longgar keberadaannya di ranah publik.
Kalau yang diinginkan, negara sebagai penopang agama Islam, Islam sebagai diin dan daulah, maka satu-satunya diin yang dipersilakan untuk disyiarkan besar-besaran hanya Islam saja. Ajaran agama lain tetap dipersilakan dianut oleh pemeluknya, tidak dipersekusi atau diintimidasi, tapi ranahnya hanya privat saja. Tidak ada ceritanya, kasir minimarket disuruh pakai topi santa, atau di tempat umum dipasang pohon natal, atau saat nyepi semua disuruh diam termasuk adzan, dan seterusnya.
Tinggal kita pilih yang mana.
Nah masalahnya, Indonesia ini masih krisis identitas. Berbagai elemen umat dan bangsa yang ada di negeri ini, berbeda-beda keinginan dan sudut pandangnya. Bahkan, banyak yang bergerak di dunia pengajian dan aktivisme Islam juga tergagap-gagap menghadapi hal semacam ini.
Leave a Reply