Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada banyak konsep yang dipahami oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang benar terkait proses menuju pernikahan, padahal tidak benar.
Ada yang memahami, bahwa yang penting itu agamanya, hal-hal lain tidak penting dan tidak perlu diperhatikan. Pandangan semacam ini perlu dilihat secara hati-hati. Memang benar, “agama” adalah faktor paling penting dalam memilih pasangan. Dan apa yang dimaksud “agama” ini, juga ada perinciannya, cuma kita tidak ulas dulu di sini. Namun itu bukan berarti, memperhatikan hal-hal lain menjadi tidak perlu.
Saya pernah mendapat informasi, ada seorang laki-laki yang tidak pernah melihat istrinya sebelum akad. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Dan ternyata, dia kecewa setelah melihat rupa istrinya yang tidak sesuai dengan keinginannya, serta tidak serasi dengan dirinya yang cukup tampan.
Melihat rupa calon pasangan dan mempertimbangkan menerima atau tidaknya karena rupanya, bukanlah hal tercela. Bahkan, disunnahkan untuk nazhar pasangan, agar tidak ‘beli kucing dalam karung’. Boleh saja laki-laki atau perempuan mundur teratur dari proses menuju pernikahan, jika calon pasangannya kurang menarik secara fisik. Tidak masalah. Yang penting, dia sudah bercermin juga. Kalau dia sendiri buruk rupa, tidak perlu berkhayal mendapatkan Cinderella.
Ada juga yang tidak ambil peduli tentang penghasilan dan pekerjaan calon suami. Dengan alasan, dia siap hidup dengan qanaah dan menerima calon suaminya apa adanya. Pandangan ini, juga tidak sepenuhnya benar, meski juga tidak seratus persen salah. Qanaah dan tidak banyak tuntutan pada suami, adalah akhlak yang baik. Istri yang seperti ini, adalah anugerah terindah bagi suaminya. Hanya saja, tetap ada kadar kewajaran yang perlu diperhatikan, dan itu mempertimbangkan ‘urf masing-masing.
Sebagai contoh, perempuan yang terbiasa hidup nyaman dan berlimpah harta bersama ayah dan ibunya, tidak usah sok-sokan mampu hidup dengan calon suami yang miskin. Ini bukan sinetron Indosiar. Karena itu, fiqih pun memperhatikan sisi kafaah (kesetaraan) antara suami dan istri, termasuk soal pekerjaan, penghasilan dan sebagainya. Ini tentu berbeda dengan perempuan yang sejak kecil terbiasa hidup melarat. Dia kemungkinan tidak sulit menyesuaikan diri dengan suaminya yang juga hidup penuh kesempitan.
Lalu soal lingkungan. Apa sang istri bisa menahan suara gosip tetangga, yang mengatai suaminya? Apa dia bisa menahan gunjingan dari keluarga besarnya sendiri, atas keadaan suami miskinnya?
Kemudian, kebutuhan hidup itu memang hal yang riil dirasakan oleh kita. Dan ketika tidak terpenuhi, kita memang akan merasakan kesulitan. Anda mungkin selama ini dikenal penyabar, tapi apakah anda akan tetap jadi penyabar, ketika berhari-hari hanya makan nasi dengan kuah indomie, itu pun cuma sekali sehari? Kata orang banyak, “Manusia tidak bisa kenyang dengan cinta”.
Jadi sebaiknya, bagi perempuan, ketika ada laki-laki yang datang melamar, lihatlah rupanya, apakah minimal “bisa dimaafkan” atau bikin anda muntah…, tanyalah pekerjaannya, kalau dia bilang pengusaha, tanyakan usaha apa, di mana perusahaannya, agar nanti bisa dicek benar tidaknya, dan seterusnya. Bagi laki-laki pun demikian, nazhar-lah dulu, sebelum menyatakan cinta dan mengarungi bahtera rumah tangga. Cek juga rekam jejak calon istri, apakah tipe boros yang suka utang sana-sini, atau orang yang bisa mengelola keuangan dengan baik. Jangan sampai penghasilan anda yang cuma setara UMP Yogyakarta, habis hanya untuk membiayai gaya hidup istri anda yang layaknya selebgram itu.
Leave a Reply