Oleh: Muhammad Abduh Negara
Al-Qaradhawi sering menyebut tentang hurriyyah dalam tulisan dan muhadharahnya. Dan “hurriyyah” ini sering diterjemahkan sebagai “kebebasan” oleh banyak orang. Yang kemudian diarahkan secara buruk oleh sebagian orang, bahwa Al-Qaradhawi lebih menginginkan kebebasan daripada penerapan syariah.
Lalu apa yang dimaksud dengan “hurriyyah” itu sendiri menurut Al-Qaradhawi? Berikut ini pernyataan beliau yang saya kutip dari situs resmi beliau:
الحرية ليست في اتباع الشهوات وانطلاق الغرائز السفلى؛ فهذه بهيمية لا حرية.. ولا في اتباع الشبهات، وبلبلة الأفكار، وإثارة الفتن؛ فهذه فوضى. إنما الحرية في خلاص الإنسان من كل سيطرة تتحكم في تفكيره أو وجدانه أو حركته، سواء أكانت من حاكم مستبد، أم كاهن متسلط، أم رأسمالي متجبر.
Artinya: “Hurriyyah” itu bukanlah mengikuti syahwat dan memenuhi hal-hal naluriah yang rendah. Hal ini adalah bahimiyyah (nafsu binatang) bukan hurriyyah… Ia juga bukan mengikuti syubhat, kekacauan pemikiran dan penyebaran fitnah, ini semu adalah kekacauan. Hurriyyah itu adalah terlepasnya manusia dari semua belenggu yang mengontrol pemikiran, perasaan dan gerakannya, baik itu dari penguasa tiran, dukun/pendeta yang mendominasi, maupun kapitalis yang sewenang-wenang.” (Sumber: https://www.al-qaradawi.net/content/معنى-الحرية)
Di kesempatan lain beliau menyatakan:
إن الحرية الإنسانية الحقيقية تكون بالاستقامة والالتزام بأوامر الله سبحانه وتعالى، واجتناب نواهيه، وأن دعوة الإسلام هي دعوة لأن يكون الناس جميعا «سواء» عبادا لله وليست دعوة استعمار ولا سيطرة
Artinya: “Hurriyyah manusia yang hakiki adalah dengan istiqamah dan berpegang teguh pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, dan dakwah Islam adalah dakwah agar semua manusia sama-sama menjadi hamba Allah, bukan dakwah yang berisi penjajahan dan hegemoni atas yang lain.” (Sumber: https://www.al-qaradawi.net/node/460)
Jadi, dari pernyataan Al-Qaradhawi sendiri, bukan qiila wa qaala, “hurriyyah” menurut beliau itu adalah bentuk perlawanan terhadap tirani penguasa, dominasi agamawan penipu dan kekuasaan uang para kapitalis, dan ajakan kepada semua orang untuk tunduk patuh sepenuhnya hanya kepada Allah ta’ala saja.
Inilah “ushul” dari pemahaman beliau. Dan “ushul” ini tidak hanya kita temukan pada dua pernyataan di atas, tapi ia tampak jelas pada semua karya tulis dan muhadharah beliau. Inilah “ruh” dan “ushul” dari pemikiran beliau.
Dari sini, semua potongan fatwa atau pernyataan beliau yang muhtamal, debatable, mengandung isykal, harus dikembalikan pada “ushul” ini, dan bukan ditafsirkan sekehendak hati orang-orang, apalagi membawanya begitu jauh dari pemikiran asli sang syaikh, hanya karena kebencian terhadap beliau.
Misalnya, potongan pernyataan beliau yang tersebar, yang seakan lebih memilih “kebebasan” dibandingkan penerapan syariah, tidak boleh disimpulkan beliau menolak penerapan syariah, karena hal ini jelas bertentangan dengan ribuan pernyataan beliau via lisan dan tulisan yang menunjukkan beliau pro penerapan syariah.
Pernyataan beliau ini, tampaknya berkaitan dengan kasus politik di negara tertentu (saya tidak mendalami fakta peristiwa politiknya), yang tampaknya mengarah ke lahirnya pemerintahan diktator dan tiran, yang menurut beliau ini bertentangan dengan siyasah syar’iyyah yang harusnya mengizinkan rakyat untuk memilih penguasa dan menasihati penguasa secara terbuka jika mereka salah. Dan bagi beliau, upaya penerapan syariah itu tidak akan berhasil dan sia-sia, jika tidak ada “hurriyyah” di dalamnya. Maka sebelum mewacanakan penerapan syariah, terapkan dulu “hurriyyah”, agar penerapan syariah benar-benar bisa diwujudkan setelahnya.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply