Oleh: Muhammad Abduh Negara
Pada prinsipnya, Hadits shahih wajib diamalkan, karena makna dari Hadits shahih adalah, Hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semua ajaran agama yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar dan wajib diterima, karena beliau adalah Nabi utusan Allah, pembawa risalah dari-Nya. Sumber utama dan asasi dari agama kita adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya (Al-Qur’an), dan semua yang bersumber dari sang Nabi (As-Sunnah), maka selama ia shahih dari Nabi, wajib kita terima dan amalkan konsekuensinya.
Namun, pada beberapa keadaan khusus, Hadits shahih tidak diamalkan konsekuensinya. Salah satu penyebab ditinggalkannya Hadits shahih tersebut adalah, ketika ia bertentangan dengan Hadits lain yang dianggap lebih kuat. Dan hal ini dibahas dalam bahasan “tarjih antar dalil”.
Contoh dari Hal ini adalah, Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang ada dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim:
تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah, dan saat itu beliau sedang ihram.”
Hadits ini menyatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan akad nikah dengan Maimunah radhiyallahu ‘anha, dan beliau sedang ihram, dan itu menunjukkan bolehnya melangsungkan akad nikah dalam keadaan ihram. Namun, ia ta’arudh (bertentangan) dengan beberapa riwayat lain, yang menunjukkan sebaliknya.
Di antaranya, Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ
Artinya: “Orang yang sedang ihram, tidak boleh melakukan akad nikah, juga tidak boleh menikahkan orang lain.”
Hadits ini, dianggap lebih rajih dibandingkan Hadits Ibnu ‘Abbas, karena Hadits ini berupa perkataan Nabi, sedangkan Hadits Ibnu ‘Abbas berupa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika terjadi ta’arudh antara perkataan dan perbuatan, maka yang dirajihkan adalah perkataan, karena perbuatan mengandung kemungkinan itu khusus untuk Nabi, juga tidak menunjukkan bahwa hukumnya berlaku terus-menerus, sedangkan perkataan sebaliknya.
Selain itu, Hadits Ibnu ‘Abbas ini juga ta’arudh dengan Hadits Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu dan Hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha sendiri. Abu Rafi’ meriwayatkan bahwa:
تَزَوَّجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ حَلَالٌ، وَبَنَى بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ، وَكُنْتُ أَنَا الرَّسُولُ بَيْنَهُمَا
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah, dan beliau dalam keadaan halal (tidak sedang ihram), dan berkumpul dengannya dalam keadaan halal, dan saya adalah perantara di antara keduanya.”
Hadits Abu Rafi’ ini, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dihasankan oleh At-Tirmidzi. Hadits ini dianggap lebih kuat, dibandingkan Hadits Ibnu ‘Abbas, karena Abu Rafi’ adalah orang yang menyaksikan langsung peristiwa pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sedangkan Ibnu ‘Abbas tidak menyaksikannya langsung.
Dan lebih jelas lagi, Hadits shahih dari Maimunah radhiyallahu ‘anha sendiri, beliau berkata:
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami dalam keadaan halal (tidak sedang ihram), di Sarif (tempat dekat Makkah).”
Hadits ini, diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dengan sedikit perbedaan redaksi. Hadits ini dianggap lebih kuat dibandingkan Hadits Ibnu ‘Abbas, karena yang meriwayatkan Hadits ini, yaitu Maimunah, adalah pelaku langsung peristiwa tersebut, sedangkan Ibnu ‘Abbas tidak.
Kembali lagi, Hadits shahih pada dasarnya wajib diikuti dan diamalkan, kecuali jika ada faktor-faktor tertentu, yang membuatnya ditinggalkan, dan salah satunya adalah ketika ia bertentangan dengan Hadits lain yang lebih kuat.
Wallahu a’lam.
Referensi:
Miftah Al-Wushul Ila Bina Al-Furu’ ‘Ala Al-Wushu, Imam Muhammad bin Ahmad At-Tilmisani, Penerbit Al-Maktabah Al-Makkiyyah, Makkah, Saudi Arabia, dan Muassasah Ar-Rayyan, Beirut, Libanon, Cetakan Ke-1 (1998 M/1419 H), Halaman 624-626 dan 637-638.
Leave a Reply