Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sejak sekian tahun lalu, saya mengkritisi sebagian tradisi “tarjih”. Namun kritik saya tersebut terbatas pada poin-poin berikut:
1. Sebagian kalangan yang menganggap hasil tarjih dari syaikh atau ustadznya sebagai kebenaran mutlak, dan seakan yang menyelisihinya telah menyelisihi jalan kebenaran. Untuk mengkritisi hal ini, saya berulangkali menyampaikan, bahwa tarjih itu sifatnya nisbi. Jadi, kalau ada yang bertanya, “Apa pendapat yang rajih dalam hal ini?”, maka sebelum menjawabnya bisa kita perjelas dulu, “Rajih menurut siapa?”
2. Sebagian kalangan, karena merasa mengikuti hasil tarjih dan disebutkan dalil dalam hasil tarjih tersebut, merasa telah lepas dari taklid, dan merasa berada pada derajat yang lebih tinggi dari kalangan lain yang dituduh “cuma ikut kiyai”. Padahal, orang-orang ini tidak bisa baca kitab Arab dan tidak paham ushul fiqih, bahkan pada tingkat dasar sekalipun. Lalu, bagaimana bisa mereka merasa telah lepas dari taklid, dan menyatakan diri bukan orang awam lagi?
3. Sebagian orang yang sok melakukan tarjih, padahal tidak punya alat untuk melakukannya. Sekadar membaca kitab fiqih, tafsir al-Qur’an atau syarah Hadits saja, harus melalui terjemahan, tapi sudah merasa lebih ahli dari para ulama yang benar-benar ahli. Perlu dipahami, seorang yang benar-benar alim ilmu syar’i, perkataan singkatnya pun penuh ilmu dan bisa ditelusuri sumber-sumber perkataan tersebut dan dalil atasnya, meski sang alim tidak menyebutkan dalil atau referensi dari perkataannya tersebut. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang sok alim, dan jika dia memaksa diri untuk melakukannya, akan terlihat banyak titik lemah yang menunjukkan keahliannya belum cukup untuk bicara hal tersebut.
Namun di sisi lain, saya mendukung fatwa-fatwa kontemporer, baik untuk perkara yang benar-benar baru ada di masa sekarang, maupun perkara klasik yang bisa dikaji ulang karena ada kebutuhan untuk itu, lewat tarjih, dengan mengurai pendapat ulama lintas madzhab, mengurai dalil dan ta’lil mereka, memperhatikan waqi’ saat ini yang membuka ruang untuk perubahan fatwa, serta tinjauan maqashid syariah. Bahkan, dari hasil pembacaan saya selama ini, praktik semacam inilah yang dipilih oleh mayoritas lembaga fatwa dan fiqih kontemporer serta para fuqaha kontemporer.
Karena itu, mengingkari hal semacam ini, apalagi membenturkannya dengan tradisi madzhab, serta membuat kesan setiap pelajar madzhab fiqih mu’tabar harus menolak praktik tarjih semacam ini, dibandingkan menganggapnya sebagai sikap kokoh dalam ilmu dan kebenaran, malah lebih terlihat sebagai sikap jumud dan ketidakmampuan memahami kebutuhan zamannya sendiri. Keluwesan fiqih Islam yang mengiringi bertumbuhnya peradaban Islam, akan mati dengan sikap kaku semacam ini.
Tarjih adalah keniscayaan di zaman sekarang, dan ia sama sekali tidak berarti melangkahi keilmuan para ulama terdahulu, apalagi menganggap yang melakukannya merasa lebih alim dan layak jadi hakim bagi para ulama terdahulu. Pernyataan itu tidak benar, dan para fuqaha kontemporer yang melakukan tarjih, lepas dari tuduhan tergesa-gesa semacam itu. Dibandingkan membenturkan tarjih ulama kontemporer dengan kerja ilmiah para ulama terdahulu, selayaknya ia dianggap sebagai pelanjut kerja ilmiah para ulama terdahulu, karena setiap zaman ada tantangan dan keadaan khususnya masing-masing.
***
Dengan pandangan semacam ini, ketika ada seorang ustadz kenalan saya, yang aktif di salah satu harakah Islam, mengkritik salah satu tokoh ustadz senior di harakahnya tersebut yang dianggap terlalu berani berfatwa dan mentarjih, saya malah katakan, tradisi sebenarnya harakahnya tersebut memang tarjih, dan bukan terikat pada salah satu madzhab fiqih. Jadi, praktik yang dilakukan sang ustadz senior tersebut, sudah selaras dengan tradisi asal dari harakahnya, yaitu “mengikuti dalil terkuat”, sebagaimana hal itu tampak dari kitab-kitab pegangan mereka dan yang ditanamkan dulu oleh para senior, ketika saya masih aktif di harakah tersebut juga.
Meski saya pernah mengkritisi salah satu fatwa syadz dari sang ustadz senior tersebut, saya katakan kepada ustadz kenalan saya, saya tidak mencela praktik tarjih dan perbandingan madzhab yang dilakukan sang ustadz senior tersebut. Soal hasil dan kesimpulan, tentu sesuai dengan hasil penelitian masing-masing, yang sangat mungkin berbeda. Soal kapasitas dan kelayakan sang ustadz senior dalam berfatwa, mungkin debatable, tapi bagi saya cukup layak, apalagi sekadar untuk rujukan para anggota harakah itu sendiri.
***
Cerita lain lagi, terkait ormas-ormas modernis yang cenderung “anti taklid” dan tidak terikat madzhab, saya katakan, saya membedakan penyikapan terhadap putusan lembaga tarjih mereka (atau apapun namanya) dengan cara pandang kebanyakan warga mereka.
Saya pribadi tidak setuju dengan sikap “anti taklid” tersebut, namun itu hal lain yang tidak perlu diulas di sini. Terkait metode yang digunakan dalam putusan lembaga tarjih atau lembaga fatwa mereka, secara umum ini sejalan dengan mayoritas lembaga fatwa dan fiqih kontemporer, sehingga ia tidak layak dicela atau dikritik. Ini sudah tepat dengan kebutuhan fiqih di era sekarang, terlepas kita setuju atau tidak setuju dengan satu demi satu putusan yang mereka keluarkan.
Adapun cara pandang sebagian warga atau pengikut ormas-ormas modernis tersebut, yang merasa telah mengikuti dalil, telah lepas dari taklid, dan semisalnya, bahkan mencela orang lain yang dianggap “cuma ikut kiyai”, padahal mereka sendiri juga tidak paham ushul fiqih, bahkan tidak paham rafa’ dan nashab, ini yang perlu diperbaiki, sebagaimana saya sebutkan pada poin 2, di awal tulisan ini.
Demikian.
Leave a Reply