Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Menyikapi Fenomena “Hafizh Tampan”

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Setelah “hijrah”, para pemudi -juga pemuda- yang mungkin sebelumnya penggemar Justin Bieber atau artis K-Pop itu, jangan diajarkan untuk mencari idola pemuda tampan lain (meskipun dengan diembel-embeli simbol keshalihan, semisal hafizh Qur’an, motivator Islami, dll). Mengapa? Karena mereka akan mengidolakan sang hafizh Qur’an atau motivator Islami tersebut, dengan cara pengidolaan yang sama terhadap Justin Bieber atau artis K-Pop.

Lho kok bisa? Ya iya lah, proses perbaikan diri itu perlu waktu yang lama (hingga akhir hayat), dan perlu diisi dengan ilmu syar’i. Jika tidak diisi ilmu syar’i (tauhid, fiqih, adab dan akhlak, dst), maka orang yang “hijrah” tadi akan jalan di tempat saja. Yang lama saja bisa jalan di tempat, apalagi yang baru “hijrah”. Bisa jadi, baru “casing” mereka yang berubah, tapi isi dalamnya belum ada perubahan.

Untuk orang-orang yang seperti ini, menjauhkan mereka dari “sumber fitnah”, lebih baik, daripada mengajak mereka mengidolai para hafizh tampan, yang mungkin akan jadi fitnah bagi mereka.

Bisa jadi, mereka mengira, yang salah dari mereka dulu hanya di sisi sosok yang diidolai, sedangkan cara pengidolaan semisal teriak histeris di depan idola, hasrat berselfie ria dengan idola, memajang poster idola di kamar, mengagumi ketampanan wajah idola sampai terbawa mimpi, dll, itu tak masalah sama sekali. Bisa jadi, mereka pikir semua cara pengidolaan seperti ini sah-sah saja, yang penting sosok idolanya adalah seorang hafizh Qur’an.

***

Jika pun ingin menunjukkan sosok yang layak diidolai (dan ini penting), tunjukkanlah kesempurnaan pribadi Rasulillah shallallahu ‘alayhi wa aalihi wa sallam. Kemudian ikutkan dengan pribadi-pribadi mulia, santri madrasah terbaik yang pernah ada, madrasah Nabi ‘alayhis shalaatu was salaam, yaitu para Shahabat ridhwanullahi ‘alayhim ajma’in. Merekalah yang paling layak jadi idola.

Namun, ini pun kita harus hati-hati, karena ada susupan-susupan materi luar, yang bisa mencemari kejernihan pandangan kita terhadap para shahabat ini.

Contohnya, mengangkat sosok semisal ‘Abdurahman bin ‘Auf dan ‘Utsman bin ‘Affan (radhiyallahu ‘anhuma) dari sisi kekayaan dan kemampuannya berdagang. Lalu bikin kampanye, muslim wajib berdagang atau muslim wajib kaya. Saya sepakat, muslim -secara komunitas- wajib mandiri, tidak diinjak-injak oleh yang lain. Namun, mewajibkan setiap individu muslim (ini berarti fardhu ‘ain), untuk kaya atau menjadi pedagang/pengusaha, setahu saya bukan ajaran para ulama rabbani.

Yang menjadi inspirasi harusnya adalah kejujuran mereka dalam berdagang, dan kontribusi mereka secara finansial dalam dakwah Islam. Jadi, mempelajari kehidupan ‘Abdurrahman bin ‘Auf harusnya membuat kita menjadi lebih dermawan dan tak perhitungan saat membantu sesama saudara muslim yang kesulitan, atau membantu kelancaran dakwah Islam.

Bukan malah mengarah pada target mencapai kekayaan dan jumlah aset, sebagaimana jumlah kekayaaan dan aset yang dimiliki Ibnu ‘Auf. Menargetkan kekayaan semacam itu tidaklah terlarang, tapi jelas itu bukan tujuan dari belajar sirah shahabat.

Atau tentang Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu. Tentu yang diambil bukanlah sosok tampannya, sambil berpikir (jika ia seorang wanita) dan berkhayal memiliki suami yang setampan sosok Mush’ab. Yang perlu diambil adalah keteguhan beliau menjaga iman, meskipun harus menerima siksaan.

Pelajaran lain juga adalah, sisi fiqih dakwah, mengapa Mush’ab yang dipilih oleh Rasul menjadi duta Islam ke Yatsrib? Apa pelajaran yang bisa diambil dari hal ini, dari sisi fiqih dakwah? Tentu ada pelajaran dalam hal ini.

***

Jadi, anda yang baru “hijrah” atau sudah lama “hijrah”, mari belajar Ilmu Syariah, agar “hijrah”-nya tak sekadar “hijrah casing” atau “ikut tren hijrah”, atau “hijrah karena ditawari jadi model hijab”. Berhijrahlah dengan benar, dari ahli maksiat menjadi ahli taat (dan ini sungguh sangat berat), dari kejahilan menuju ilmu, dari berbicara dan bersikap tanpa ilmu menuju ilmu.

Carilah idola dari orang-orang yang telah wafat, samudera teladan yang tak bertepi, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa aalihi wa sallam dan para shahabat beliau ridhwanullahi ‘alayhim ajma’in.

Tidak perlu (saya tidak mengatakan: haram) mengidolakan hafizh muda tampan, yang entah anda mengidolakannya karena status hafizh-nya atau karena ketampanannya, atau karena keduanya (?).

Tidak perlu juga mengidolakan orang-orang yang baru taubat. Orang-orang yang baru taubat ini perlu doa dari kita untuk keistiqamahan mereka (dan juga kita), serta bantuan pengarahan agar mereka bisa dibimbing oleh ulama rabbani. Bukan dijadikan sosok idola, diundang ke mana-mana jadi pembicara, yang malah (mungkin) akan jadi fitnah bagi mereka. Mereka yang baru taubat, perlu banyak duduk di majelis ilmu sebagai pelajar, bukan duduk di depan sebagai pengajar.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply