Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Negeri Maridin dan Perubahan Fatwa

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Sebelum Ibnu Taimiyyah, para fuqaha membagi negeri-negeri di dunia menjadi dua: Dar Islam dan Dar Kufr, tidak ada jenis yang ketiga.

Kemudian di masa Ibnu Taimiyyah, ada fakta tentang negeri bernama Maridin, yang mayoritas penduduknya adalah muslim, namun dikuasai oleh Tatar yang dianggap kafir oleh Ibnu Taimiyyah.

Beliau ditanya tentang status negeri Maridin tersebut, apakah ia Dar Islam atau Dar Kufr, atau dengan istilah lain, apakah ia Dar Silm atau Dar Harb. Ibnu Taimiyyah tidak menetapkan salah satunya, tapi malah memunculkan istilah baru: Daulah Murakkabah, bukan Dar Islam bukan juga Dar Kufr.

***

Saya di sini tidak akan mengulas tentang fakta negeri Maridin tersebut, maupun fatwa Ibnu Taimiyyah tentang “Daulah Murakkabah” tersebut secara spesifik.

Yang jadi poin saya adalah, hal yang disepakati para fuqaha terdahulu pun, masih mungkin untuk ‘dikoreksi’ jika memang ada fakta dan keadaan yang berbeda. Fatwa bisa berubah seiring perubahan keadaan, zaman dan tempat.

Ibnu Taimiyyah dalam hal ini tidak bersikap jumud, dengan bertahan pada dua pilihan saja. Beliau malah memilih pilihan ketiga, karena dua pilihan yang ada tidak bisa menjelaskan fakta baru yang dihadapi di masa beliau tersebut.

Mungkin bagi sebagian orang, fatwa beliau ini (dan sekian fatwa lain) dianggap menabrak ijma’ atau tuduhan lainnya. Namun tuduhan ini, mengikuti penjelasan Syaikh Muhammad Al-Hasan Ad-Dedew, kebanyakan kurang tepat. Apalagi hal-hal yang disebut ijma’ tersebut banyak yang ‘sekadar’ klaim ijma’, sehingga tidak menempati posisi ijma’ yang tidak boleh diselisihi.

***

Tentang “perubahan fatwa” ini, tentu bukan tugas sembarangan orang. Bukan tugas pelajar pemula, dan juga bukan tugas orang-orang yang hanya bisa menukil kitab terdahulu, tanpa memiliki nalar fiqih yang memadai.

Karena itu, manhaj saya dalam melihat ikhtilaf yang terjadi di era kontemporer adalah, melihat siapa saja yang berpendapat tentang satu hal, yang mungkin dianggap menyelisihi jumhur, menyelisihi empat madzhab, atau bahkan dituduh menyelisihi ijma’. Jika yang berpendapat orang yang terbiasa berpendapat ngawur, atau jelas-jelas berpikiran liberal, maka pendapatnya tak perlu diperhatikan. Apalagi jika ditelaah argumentasinya, akan terlihat sangat rapuh.

Sebaliknya, jika yang berpendapat adalah orang-orang yang memang diakui keahliannya dalam fiqih dan fatwa secara luas, diakui penguasaannya yang baik terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita tidak boleh tergesa-gesa menuduhnya. Setelah itu, jika kita mampu, kita bisa kaji argumentasi yang mereka kemukakan, yang biasanya memang cukup kuat.

***

Fatwa dan pendapat ulama, bukan dalil. Karena itu, boleh diikuti, boleh juga tidak. Hanya saja, kita tidak boleh tergesa-gesa menuduh pendapat tersebut menyelisihi syariat atau menolak Hadits, dan semisalnya. Apalagi jika kita baru bisa menukil kitab-kitab terdahulu. Lebih lagi jika kita, membaca dan memahami kitab Arab pun belum bisa.

Leave a Reply