Oleh: Muhammad Abduh Negara
Persoalan politik dan kekuasaan memang amat berat, karena itu wajar banyak ulama salaf, baik dari kalangan shahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in yang menjauhinya sejauh-jauhnya. Bisa dimaklumi juga, ada sebagian masyayikh kontemporer yang menekankan para penuntut ilmu untuk meninggalkan urusan politik dan tidak menyibukkan diri dengannya. Meski kadang, hal terakhir ini sampai pada tingkat ekstrem hingga melahirkan ‘kedunguan akut’ pada sebagian orang yang tidak melek politik, tapi tiba-tiba ikutan bicara politik. Susah untuk memilih kata lain, selain “dungu” dan “ngawur” untuk mereka.
‘Fitnah’ besar pertama di tubuh umat Islam, yang membuka pintu berbagai ‘fitnah’ berikutnya, adalah ‘fitnah’ dalam ranah politik, yaitu pemberontakan sebagian kaum muslimin terhadap ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan berakhir dengan terbunuhnya beliau di tangan para pemberontak tersebut.
Pasca ‘fitnah’ ini, umat Islam mulai terpecah, kekuasaan mulai diperebutkan, hingga para shahabat mulia pun harus berhadapan dan saling menghunuskan pedang. Pertikaian ini juga yang melahirkan tiga sekte menyimpang di tubuh umat Islam, yaitu rawafidh, nawashib dan khawarij. Rawafidh yang ghuluw kepada ‘Ali dan Ahlul Bait, serta memusuhi para shahabat yang terlibat dalam konflik menghadapi ‘Ali, bahkan hingga tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman. Nawashib yang ghuluw kepada Mu’awiyah dan Bani Umayyah, serta memusuhi dan membenci ‘Ali dan Ahlul Bait. Khawarij yang mengafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya sekaligus. Semoga Allah ta’ala meridhai seluruh shahabat Nabi.
Di masa sekarang pun, ‘fitnah’ politik juga begitu berat, dengan aktor-aktor berbeda. Di media sosial saja kita bisa baca, ada yang ghuluw kepada Saudi dan MBS, ada yang ghuluw kepada Turki dan Erdogan, ada yang ghuluw kepada Suriah dan Ahmad asy-Syara’, ada juga yang mengafirkan semuanya.
Kadang sikap ghuluw semacam ini lahir, karena meletakkan loyalitas pada entitas politik tertentu, dan meyakininya sebagai pembawa panji Islam yang haq, yang tak mungkin salah dalam bersikap. Seandainya mereka bisa lebih santai dan tenang sedikit dalam melihat percaturan politik, mungkin sikap ghuluwnya akan berkurang. Tapi jangan terlalu santai dan tenang, nanti malah rangkap jabatan wamen dan komisaris BUMN, layaknya mas Fahri.

Leave a Reply