Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada beberapa penyebab satu produk belum bersertifikasi halal, di antaranya:
(1) Produk tersebut, setelah diteliti, memang mengandung bahan dan/atau melalui proses yang melibatkan bahan yang haram. Kalau seperti ini, jelas produk tersebut hukumnya haram, bukan sekadar karena “tidak tersertifikasi halal”, tapi karena ia terbukti mengandung bahan yang haram.
Sebenarnya, terkait “dalam proses pengolahan, melibatkan benda yang haram”, ada ikhtilaf di kalangan fuqaha, terkait istihalah. Tapi ini bahasan rumit, jadi diabaikan saja.
(2) Produk tersebut tidak mendaftarkan diri dalam sertifikasi produk halal, dan belum pernah diteliti juga oleh lembaga berwenang. Untuk kasus ini, maka perlu melihat indikasi:
a. Jika ada indikasi sangat kuat, bahwa produk tersebut berbahan haram, maka bisa difatwakan haram.
b. Jika ada indikasi kuat, bahwa produk itu tidak mengandung bahan haram, semisal penjualnya muslim, dijual di tengah-tengah komunitas umat Islam, produk sejenisnya umumnya halal (misal: restoran padang, dll), maka hukum asalnya adalah halal.
c. Jika dari berbagai indikasi yang ada, mengandung ihtimal (kemungkinan) halal di beberapa sisi, dan ihtimal haram di beberapa sisi lain, maka hukumnya menjadi samar dan tidak jelas (syubhat) bagi kebanyakan orang.
(3) Produk tersebut masih dalam tahap penelitian, sehingga belum mendapatkan sertifikasi halal, perinciannya sebagaimana pada poin (2).
(4) Produk tersebut berbahan halal, dan melalui proses pengolahan yang sepenuhnya halal, tapi tidak bisa disertifikasi halal karena menggunakan nama yang buruk atau identik dengan benda haram, seperti (mengacu situs halalmui dot org): “hamburger”, “hotdog”, “rawon setan”, “es pocong”, dan lain-lain, maka sebenarnya produk ini halal dan boleh dikonsumsi.
Untuk poin (4) ini ada catatan:
a. Yang saya sebutkan di atas, jika terbukti bahan dan prosesnya halal. Jika tidak, maka penjelasannya kembali seperti poin-poin sebelumnya.
b. Pemilik produk atau toko yang menjual produk tersebut, bisa saja ‘dihukum’ secara sosial, dengan tidak membeli produknya, untuk peringatan, agar hati-hati dalam menggunakan nama.
***
Catatan tambahan:
1. Dari sedikit penelusuran saya, saya belum menemukan ada ulama, dulu dan sekarang, yang memfatwakan haramnya suatu produk makanan atau minuman (baik produk olahan maupun produk segar non olahan), hanya karena namanya. Keharaman suatu produk itu terkait hakikat zat dari produk tersebut, bukan dari namanya. Karena itu, meski disebut “bir pletok” (mengandung nama “bir”) ia tetap halal, sebaliknya meski disebut “anggur merah” (mengandung nama buah) ia tetap haram.
Karena itu, saya meluruskan bahwa jika suatu produk tidak mendapatkan sertifikasi halal dari BPJPH yang melibatkan MUI dalam putusan fatwanya tersebut, karena mengandung nama yang buruk atau identik dengan benda haram, itu tidak berarti bahwa produk itu difatwakan haram oleh MUI. Tidak bisa dipahami seperti itu, karena menyelisihi kaidah halal dan haram suatu produk yang sudah dijelaskan oleh para ulama.
Saya melihat, produk tersebut tidak mendapatkan sertifikasi halal, sebagai sanksi atau teguran kepada mereka, karena menggunakan nama yang buruk tersebut. Ini mirip dengan sanksi yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang meninggal dengan menanggung utang, dengan tidak menyalatkannya. Ini tidak berarti haram menyalatkan orang tersebut, karena Nabi tetap menyuruh para shahabat untuk menyalatkannya.
Jadi, saya tidak sedang membantah atau ingin mengajak debat MUI, seperti yang dikira oleh sebagian orang. Saya hanya ingin meluruskan persepsi masyarakat yang keliru tentang hal ini.
2. Terkait produk dengan nama yang buruk tersebut, ada dua perkara yang perlu ditetapkan hukumnya secara terpisah, yaitu: (a) Halal haram mengonsumsi produknya sendiri, dan (b) Halal haram menggunakan nama yang buruk tersebut.
Seandainya (yang terbiasa baca literatur fiqih, tentu paham gaya ungkapan semacam ini), kembali lagi, seandainya kita katakan, penggunaan nama semacam itu haram hukumnya, itu tidak berarti mengonsumsi produknya juga haram.
Ini serupa dengan kasus yang pernah ditanyakan ke saya, tentang hukum sembelihan hewan menggunakan pisau atau golok yang terdapat logo salib padanya (dipastikan itu logo salib khas kristiani). Saya katakan, menggunakan pisau dengan logo salib tersebut haram hukumnya, tapi hasil sembelihannya tetap sah dan halal dimakan.
3. Tentang UU Jaminan Produk Halal, yang mewajibkan setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia untuk bersertifikasi halal, yang dipahami oleh sebagian orang berarti yang tidak mendapatkan sertifikat halal berarti produkbya haram, itu pemahaman yang keliru.
Perlu dicatat, secara garis besar dan dari sisi semangat, saya mendukung ada undang-undang semacam ini. Untuk perincian, saya belum bisa berbicara, karena belum menelaahnya secara mendalam.
Hanya saja, pemahaman sebagian orang bahwa jika tidak bersertifikat halal, berarti produknya divonis haram, itu tidak benar. “Mewajibkan” yang dimaksud di sini, adalah kewajiban yang terkait administrasi, untuk kemaslahatan banyak orang. Mirip dengan kasus seorang muslim yang menikah, wajib mencatatkan pernikahannya di KUA. Ini tidak berarti pernikahan yang tidak tercatat di KUA hukumnya tidak sah.
Konsekuensi dari meninggalkan kewajiban ini, bisa mendapatkan sanksi atau mengalami kesulitan untuk mengurus beberapa hal terkait. Adapun hukum kehalalan produk dan keabsahan pernikahan, itu tinjauannya berbeda lagi.
4. Perhatian pemerintah dan semua pihak terkait, termasuk MUI, untuk memastikan kehalalan produk yang beredar di negeri ini, itu hal yang baik dan sangat layak didukung. Ini juga salah satu (dari beberapa) nilai dan ajaran Islam yang diterapkan di negeri ini. Saya sama sekali tidak bersikap kontra, seperti yang dituduhkan sebagian orang. Saya hanya ingin berkontribusi, sesuai bidang keilmuan saya, untuk menjelaskan beberapa mispersepsi yang berkembang di masyarakat.
Kalau mau berkomentar, harap baca dulu pelan-pelan tulisan ini dari awal hingga akhir, dengan fokus yang penuh, agar tidak salah memahaminya.

Leave a Reply