Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Sanad Periwayatan, Madrasah Keilmuan dan Ketepatan Pemahaman

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Sanad dalam arti sanad periwayatan, memiliki urgensitas dalam menjaga kevalidan penisbatan, karena itu Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak radhiyallahu ‘anhu berkata:

الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء

Artinya: “Sanad itu bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad, maka siapapun bisa mengatakan hal apapun sekehendak hatinya.”

Tanpa sanad, setiap orang bisa berkata, “Nabi berkata ini”, “Nabi melakukan ini”, tanpa bisa diverifikasi kebenarannya, dan ujungnya agama ini akan rusak karena setiap orang bisa menambahkan apapun dalam agama ini, seperti yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani. Dengan sanad, ketika ada yang berkata itu, kita bisa katakan, سموا لنا رجالكم (Sebutkan kepada kami, orang-orang yang menyampaikan Hadits tersebut kepada kalian), dan kita bisa verifikasi valid tidaknya penisbatannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.

Namun sanad periwayatan ini, tujuannya menjaga validitas penisbatan, bukan menjaga ketepatan pemahaman. Karena itu, sangat mungkin orang yang hafal suatu Hadits, sanad dan matannya, atau bahkan dia memiliki jalur sanad untuk Hadits itu dari dirinya sampai ke Rasulullah melalui beberapa jalur, tidak memahami kandungan hukum dari Hadits itu, atau salah dalam menyimpulkan hukum darinya.

Ada juga penggunaan “sanad” untuk makna lain, yang kadang diungkapkan oleh seseorang dengan begitu bangganya, “Guru saya adalah kiyai yang bersanad, bukan google”, meski faktanya google jauh lebih pintar dari si sok santri ini. Saya pribadi, berulang kali menyatakan bahwa untuk bab ini, lebih senang menggunakan istilah “madrasah keilmuan” dibandingkan “sanad”, untuk menghindari tercampurnya pemahaman dengan istilah sanad periwayatan yang saya sebutkan di awal.

Madrasah keilmuan ini, tidak menjaga validitas penisbatan, karena itu tugas sanad periwayatan. Ia juga tidak bertugas memastikan kebenaran pendapat dan amal. Ia hanya menunjukkan keterpengaruhan (taatstsur) seseorang dalam pemahaman, mengikuti madrasah keilmuannya.

Sebagai contoh, di masa tabi’in, Makkah dikenal melahirkan banyak mufassir besar, seperti Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Thawus dan ‘Atha bin Abi Rabah radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang semuanya terpengaruh oleh keluasan ilmu guru besar mereka, Sang Turjuman al-Qur’an, shahabiy jalil, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Imam asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, dikenal mampu mengumpulkan ilmu dua madrasah besar di masa beliau, yaitu Madrasah Ahli Hadits dan Madrasah Ahli Ra’yi, karena taatstsur-nya beliau dengan dua gurunya, yaitu Imam Malik, Imam Darul Hijrah, imamnya Madrasah Ahli Hijaz di masanya, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, yang merupakan murid pilihan dari imam agung Madrasah Ahli Ra’yi, Imam Nu’man bin Tsabit, semoga Allah ta’ala meridhai mereka semua.

Madrasah keilmuan ini soal keterpengaruhan. Para ulama Hanabilah, cara berpikirnya khas Hanbali, Malikiyyah khas Maliki, dan seterusnya. Pengikut madrasah keilmuan Ibnu Taimiyyah dalam aqidah, cara berpikir dan argumentasinya sangat terpengaruh oleh sang imam, demikian juga pengikut madrasah keilmuannya al-Baqillani dan ar-Razi.

Berbeda dengan sanad periwayatan, yang mensyaratkan ittishal as-sanad, yang berarti jika seseorang tidak mengambil riwayat itu langsung dari gurunya, maka sanad periwayatannya terputus (munqathi’) dan tidak valid (dhaif), madrasah keilmuan tidak demikian.

Dalam madrasah keilmuan, seseorang sangat bisa terpengaruh oleh pemikiran Soekarno, Tan Malaka, Hasan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani, Abu al-A’la al-Maududi, dan lainnya, hanya dengan membaca karya tulis mereka atau mendengarkan berbagai pidato mereka, meski tak pernah bertatap muka dengan mereka.

Seseorang bisa saja terpengaruh pemikiran Ibnu Taimiyyah, meski tak pernah duduk di majelis seorang syaikh yang punya “sanad” bersambung kepada sang imam, selama dia tekun membaca berbagai muallafat (karya tulis) sang imam, disertai wawasan keilmuan syar’i yang cukup dan tingkat kecerdasan memadai.

Tapi, sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, baik sanad periwayatan maupun madrasah keilmuan, tidak bisa dijadikan tolok ukur pasti ketepatan pemahaman, apalagi kebenaran pendapat yang dikemukakan. Sebagai indikasi penguat, tentu bisa, lebih-lebih dari sisi madrasah keilmuan. Namun dijadikan tolok ukur pasti, tidak.

Lalu apa tolok ukur ketepatan pemahaman dan kebenaran pendapat yang dikemukakan oleh seseorang? Jawabannya adalah, standar keilmuan di bidang ilmu itu sendiri, dan pengakuan para ahli dalam bidang keilmuan tersebut.

Jika anda mampu menjelaskan satu masail dalam ilmu nahwu yang cukup pelik -misalnya-, dengan tepat, dan menunjukkan berbagai bukti atas kebenaran pernyataan anda, dari syair-syair Arab pra Islam, dari lafazh al-Qur’an, atau minimal dari referensi primer ilmu nahwu, dan ketepatan penjelasan anda tersebut diakui oleh para ahli nahwu yang pernah membaca atau mendengarkan penjelasan anda, maka penjelasan anda itu terbukti benar, terlepas dari sanad periwayatan yang anda miliki dan madrasah keilmuan yang anda ikuti.

Sebaliknya, kalau ada seseorang yang mengaku punya sanad periwayatan kitab nahwu ini dan itu, pernah berguru dalam ilmu nahwu dengan syaikh ini dan kiyai itu, namun saat diminta menjelaskan satu masail ilmu nahwu, dia tidak mampu melakukannya, bahkan setelah diberi waktu yang cukup, atau malah menjelaskannya dengan kekeliruan yang fatal, maka sanad periwayatan dan madrasah keilmuannya tak mampu menyelamatkannya.

Leave a Reply