Oleh: Muhammad Abduh Negara
Orang sering membawa “the death of expertise”, matinya kepakaran, pada gelar akademik. Saya ingat, ada seseorang yang mengomentari status seorang doktor yang nyeleneh, kemudian fans sang doktor ramai-ramai meneriakinya dan menganggap itu sebagai “matinya kepakaran”. Padahal, kritik orang tersebut tepat, dan pernyataan sang doktor di statusnya memang nyeleneh.
Dalam bidang studi Islam (saya khususkan dalam bidang ini, karena konsentrasi saya memang di sini), madrasah keilmuan itu tidak hanya ada pada lembaga pendidikan tinggi formal yang menyediakan gelar B.A., M.A., atau Ph.D., saja. Banyak sekali lembaga keilmuan Islam yang kredibel dan diakui luas, bahkan telah hadir sejak ratusan tahun yang lalu, yang tak menyediakan gelar-gelar tersebut.
Banyak sekali ma’had, markaz, jami’, zawiyah, juga dayah, pesantren, surau, dll., yang menyediakan kajian-kajian ilmu keislaman secara mendalam. Sebagai contoh, saya pribadi lebih mengakui keilmuan fiqih alumni pesantren tradisional besar di provinsi saya, yang tiap hari selama belasan tahun mengkaji kitab-kitab fiqih turats berbahasa Arab, daripada alumni S1 atau S2 salah satu kampus Islam di kota saya, yang tidak lahir dari rahim pesantren. Banyak sekali sarjana dan master studi Islam, yang bahkan tak mampu membaca kitab-kitab bahasa Arab level dasar, padahal referensi utama studi Islam itu mayoritas berbahasa Arab.
Tambah lagi, kita bahkan sering tak membedakan, alumni studi Islam dari kampus-kampus Islam yang cukup diakui kredibilitasnya dan kesungguhannya dalam mengikuti manhaj ulama mutaqaddimin, dengan alumni studi Islam dari McGill, Leiden, Chicago, dll., yang bahkan para guru besarnya tidak pernah mandi wajib. Padahal, studi Islam itu harus lahir dari asas yang benar, dari pandangan alam yang benar, dari aqidah Islam yang bersih dari kotoran pluralisme, sekularisme, atheisme, sofisme, dan semisalnya.
Kembali lagi, jika kita mau gunakan ungkapan “matinya kepakaran” secara tepat, maka dalam studi Islam, itu lebih layak ditujukan pada para profesor, doktor, master, peneliti dan dosen, yang terlalu berani mengeluarkan wacana yang nyeleneh, menyelisihi nash sharih dan ijma’, dan tidak dilandasi oleh kaidah ushul fiqih yang benar.
Tak pernah membaca Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ath-Thabari dengan manhaj yang benar, tak pernah menelaah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, tak pernah baca Al-Majmu’, Al-Mughni, Bidayatul Mujtahid, dan At-Tamhid, juga tak pernah baca Al-Burhan, Al-Mustashfa, maupun Al-Muwafaqat, tapi hanya karena punya gelar profesor dan doktor, merasa sudah layak mengacak-acak ajaran Islam. Inilah matinya kepakaran yang sesungguhnya..
Leave a Reply