Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sebagian kalangan, yang sebagiannya dikenal keilmuannya, saat mendukung tradisi peringatan maulid Nabi menyatakan, “Tidak perlu dalil untuk mencintai Nabi”. Karena sebagian yang melontarkannya adalah orang-orang yang dikenal berilmu, lalu hal ini diikuti oleh kalangan awam. Setelah itu ia jadi senjata, saat pihak lain bertanya, “Mana dalil bolehnya peringatan Maulid Nabi?”, orang-orang awam ini akan melontarkan kalimat ini, dan ujungnya terjadi debat kusir sesama orang awam, seperti biasa.
Pernyataan ini sebenarnya perlu dikritisi, karena seakan ada sisi dalam agama ini yang tidak perlu dalil syar’i yang menjadi landasannya. Seakan ada hal yang cukup dengan ‘perasaan’ saja, dalam menentukan halal dan haram. Dan ini tidak benar.
1. Bahkan, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bukan kecintaan yang sifatnya thabi’i, seperti kecintaan pada anak, orangtua atau istri. Ia kecintaan yang lahir dari keimanan. Kita mencintai beliau, karena kita tahu beliau adalah Rasulullah, karena kita tahu bagaimana perjuangan dan dakwah beliau, karena kita tahu agungnya kedudukan beliau.
Jadi, mencintai Nabi itu dilandasi oleh dalil, yaitu dalil-dalil yang membentuk keimanan kita kepada beliau sebagai Nabi dan utusan Allah, yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab aqidah. Sebagaimana sifat dan perjuangan beliau, bisa kita baca di kitab-kitab Hadits, sirah dan syamail.
2. Setelah itu, meski kecintaan kepada Nabi itu sesuatu yang masyru’ (disyariatkan), bahkan wajib, bukan berarti ekspresinya bisa bebas lepas tanpa aturan. Ini menyelisihi prinsip Islam.
Sebagai contoh -sengaja dibuat ekstrem-, apakah karena cinta, kita boleh membuat patung Nabi, lalu kita sembah setiap waktu dhuha?… Tentu tidak, kan? Nah, ini bukti, bahwa ekspresi cinta itu tetap perlu dalil syar’i, tidak bisa sembarangan dan sekehendak hati.
3. Selayaknya, mereka menjelaskan baik-baik, argumentasi dan dalil atas bolehnya peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini cukup banyak dikemukakan oleh para ulama sejak dulu. Tentu fokusnya bukan menyebutkan nama-nama ulamanya, tapi menjelaskan argumentasi dan dalil yang mereka kemukakan.
Sebagai contoh, peringatan maulid Nabi ini hanya sekadar acara seremonial belaka, bukan ritual ibadah yang punya syarat dan rukun tertentu, tidak juga mewajibkan atau mengharamkan sesuatu karena seremoni ini. Ia di bawah naungan konsep ‘adah, yang hukum asalnya boleh, selama tidak mengandung kemungkaran, dan selama tidak ada dalil spesifik yang melarangnya.
Dan banyak argumentasi lainnya.
4. Tentu pihak yang berseberangan, akan mengkritisi argumentasi dan dalil ini. Namun itu tidak masalah. Tradisi ilmiah memang membuka ruang sangat luas untuk saling kritik pendapat. Yang penting, fokus pada argumentasi dan dalil. Jika terjadi diskusi dan debat sehat semacam ini, maka meskipun ujungnya tetap tidak satu suara, minimal kedua belah pihak sama-sama punya dasar dalil syar’i dalam praktik beragamanya, keduanya juga sadar bahwa pihak lawan juga punya dalil atas pendapatnya meskipun menurutnya itu lemah.
Jika pun tetap berseberangan, minimal itu di atas landasan ilmu masing-masing, bukan sekadar fanatisme kelompok yang melahirkan debat kusir.

Leave a Reply