Oleh: Muhammad Abduh Negara
1. Al-‘Ibrah fi al-‘ibadat bi maa fii zhann al-mukallaf, yang diperhatikan dalam ibadah adalah yang sesuai zhann mukallaf. Dan ibadah yang mengikuti zhann tersebut sah, selama tidak terbukti secara pasti bahwa itu keliru, laa ‘ibrata bi azh-zhann al-bayyin khathauhu.
2. Jadi, jika berdasarkan zhann (zhann rajih/ghalabatuzh zhann) kita shalat ‘idul adha pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka shalat kita itu sah, selama tidak ada bukti yang pasti dan meyakinkan yang menunjukkan zhann kita itu sepenuhnya salah.
3. Demikian juga, puasa ‘Arafah yang dikerjakan tanggal 9 Dzulhijjah, juga sah, meski itu berbeda hari dengan pelaksanaan wuquf di ‘Arafah itu sendiri, karena pelaksanaan puasa sunnah tersebut disandarkan pada waktu/hari, bukan pada tempat, sebagaimana umumnya puasa-puasa sunnah lainnya.
4. Keputusan pemerintah Saudi (a.k.a. Amir Makkah) tentang masuknya bulan Dzulhijjah itu derajatnya zhann, tidak berbeda dengan keputusan pemerintah Indonesia, dan sesuatu yang zhann tidak bisa membatalkan zhann yang lain.
5. Terkait poin 4, jika mengikuti pendapat tidak diakuinya ikhtilaf mathali’, maka dia mengikuti hasil ru’yah yang lebih awal (dalam hal ini ru’yah di Arab sana). Bagi yang mengikuti pendapat adanya ikhtilaf mathali’, dia harus mengikuti hasil ru’yah di negerinya, bukan ru’yah di Timur Tengah sana.
6. Ada lagi yang menentukan awal bulan dengan hisab falaki. Dan perlu diketahui, penentuan awal bulan dengan ru’yatul hilal maupun hisab falaki sama-sama pendapat yang mu’tabar dan boleh diikuti, demikian juga ru’yah dengan memperhatikan ikhtilaf mathali’ dan yang tidak, juga sama-sama mu’tabar. Jadi, ya sudah, amalkan saja pendapat yang anda pilih, dan bersikaplah toleran terhadap muslim lain yang berbeda pilihan.
7. Putusan penguasa, sebagai sebuah kebijakan, sebenarnya bisa menghentikan perbedaan dalam hal ini, amrul imam yarfa’ul khilaf. Sayangnya, hak seperti ini tidak diambil oleh pemerintah Indonesia, dengan bukti mereka membiarkan berbagai ormas menentukan penanggalannya sendiri.
8. Terkait poin 7, selain itu, status pemerintah saat ini sebagai ulil amri yang wajib diikuti, juga hal yang debatable, sehingga ujung-ujungnya tetap tak akan menghentikan perselisihan dan perbedaan yang ada.
9. Klaim adanya ijma’ bahwa idul adha itu harus mengikuti putusan Amir Makkah, tidak seperti penentuan awal Ramadhan, tidak benar. Sudah ada bantahan dari mufti madzhab Syafi’i, Syaikh Ahmad ‘Ali Al-Maqrami. Dan tulisan yang mengklaim ijma’ itu sudah tersebar bertahun-tahun, tapi sampai sekarang belum ada bukti -minimal- yang menunjukkan adanya pernyataan ijma’ tersebut di kitab-kitab mu’tabar, seperti Al-Ijma’, Bidayatul Mujtahid, Al-Majmu’, Al-Mughni, dan semisalnya.
10. Karena itu, sikap yang paling tepat dengan konteks kekinian dan kedisinian, adalah membiarkan perbedaan yang ada saat ini, dan saling menghormati saja. Memaksa pihak lain untuk mengikuti pendapatnya, hanya akan menambah perpecahan, bukan melahirkan persatuan.
11. Tulisan seseorang yang menamakan dirinya “Nasrudin Joha”, yang berjudul “Haji itu di Arafah, Bukan di Nusantara” di-skip saja, diabaikan saja. Kalau perlu, yang membagikan tulisan tersebut di-unfriend saja.
Leave a Reply