Oleh: Muhammad Abduh Negara
‘Urf atau ‘adah adalah perkara yang berlaku di tengah masyarakat dan diterima oleh umumnya mereka. Dalam fiqih Islam, ‘urf diberi perhatian, bahkan ia bisa menjadi patokan dalam penetapan hukum fiqih, terutama ketika tidak ada nash yang menetapkan hal tersebut. Dalam kaidah fiqih disebutkan: العادة محكمة (‘adah atau ‘urf bisa menjadi landasan penetapan hukum).
Contoh bahasan fiqih yang ditetapkan dengan ‘urf, di antaranya:
1. Batas minimal usia haid dan baligh.
2. Durasi minimal, maksimal, dan umumnya masa haid dan nifas.
3. Standar tempat penyimpanan barang dalam kasus pencurian.
4. Banyaknya gerakan yang membatalkan shalat.
5. Dan lain-lain.
Pertanyaannya, jika ‘urf tampak bertentangan dengan nash atau dalil syar’i lainnya seperti qiyas, bagaimana cara kita menyikapinya?
Ada empat gambaran dan ketentuan yang berbeda dalam hal ini, yaitu:
1. ‘Urf menyelisihi dalil syar’i sepenuhnya, dari semua sisi, yang jika kita memperhatikan ‘urf maka niscaya kita mengabaikan dan meninggalkan nash syar’i. Pada kondisi ini, kita wajib mengikuti ketentuan nash dan meninggalkan ‘urf tersebut.
Contoh ‘urf pada bagian ini: tradisi masyarakat yang sudah terbiasa bertransaksi ribawi dan mengambil bunga bank, atau tradisi minum minuman keras saat pesta atau lainnya, perempuan yang tabarruj (berhias berlebihan yang menampakkan aurat dan kecantikannya di hadapan laki-laki non-mahram), dan lain-lain.
2. ‘Urf menyelisihi dalil syar’i, namun tidak dari semua sisi. Misal dalil syar’i datang dalam bentuk umum, kemudian ‘urf menyelisihi sebagian kandungan umum tersebut. Atau dalil syar’i berupa qiyas, dan ‘urf menyelisihinya.
Pada kondisi ini. ‘urf tetap diperhatikan, jika ia berlaku luas dan umum. Sebagai contoh, berdasarkan qiyas, akad salam (jual beli pesanan) harusnya dilarang, karena ia menjual barang yang belum dimiliki, namun ‘urf yang berlaku umum menunjukkan transaksi itu sudah biasa dilakukan, mengandung kemaslahatan dan tidak mendatangkan mafsadah pada dua pihak yang bertransaksi, dan tidak ada unsur-unsur yang membuat transaksi tersebut menjadi rusak, karena itu ia dibolehkan.
Atau penggunaan kamar mandi umum atau toilet umum yang berbayar. Harusnya ia dilarang, karena ada unsur ketidakjelasan (jahalah) pada barang yang ditransaksikan, yaitu jumlah (volume) air yang digunakan. Namun karena ‘urf sudah menganggap hal itu biasa, dan menghitung jumlah air yang digunakan itu sangat sulit, maka ia dibolehkan.
3. ‘Urf menyelisihi nash, yang nash tersebut sendiri dilandasi oleh ‘urf di zaman Nabi. Pada kondisi ini, sebagian fuqaha menetapkan, bahwa nash tersebut bisa ditinggalkan, dan kita perhatikan ‘urf yang berlaku di masa kita.
Sebagai contoh, kurma adalah salah satu barang ribawi, dan jika ia mau dibarter dengan kurma lain, disyaratkan tamatsul (setara kadarnya). Dan kadar tamatsul itu, berdasarkan nash, adalah takaran. Contohnya, satu sha’ kurma, tidak boleh ditukar dengan satu setengah sha’ kurma. Dan sha’ adalah ukuran volume (takaran) di masa Nabi.
Menurut sebagian fuqaha, jika di masa tertentu, kurma tidak lagi dijual secara takaran, tapi dengan timbangan misalnya, maka kadar tamatsul kurma tersebut ikut berubah. Tidak lagi diukur dengan takaran, tapi dengan timbangan. Jadi bukan 1 sha’ atau 1 liter kurma dengan 1 sha’ atau 1 liter juga, tapi menjadi 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg kurma juga.
4. ‘Urf di masa sekarang, bertentangan dengan pendapat ulama terdahulu, yang tidak dilandasi oleh nash sharih, tapi oleh ‘urf di masa mereka. Yang seandainya mereka masih hidup di masa sekarang, mereka akan mengubah pendapat mereka mengikuti ‘urf di masa sekarang. Pada kondisi ini, ‘urf yang berlaku di masa sekarang diperhatikan, dan bisa dijadikan landasan meninggalkan fatwa dan pendapat para ulama terdahulu.
Sebagai contoh, kebanyakan ulama salaf mengharamkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, karena menurut mereka mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i itu sebuah kewajiban, dan tidak boleh mengambil upah dari pelaksanaan kewajiban. Dan pelaksanaan kewajiban itu harus ditujukan untuk taqarrub kepada Allah, dikerjakan hanya karena Allah ta’ala saja, dan mengambil upah dari kewajiban tersebut, berarti mengalihkan tujuan dari taqarrub kepada Allah menjadi mencari dunia, dan ini jelas tidak boleh.
Namun kebanyakan ulama mutaakhkhirin membolehkan mengambil upah, karena tunjangan baitul mal (yang dianggap halal oleh ulama salaf) untuk pengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, sudah tidak ada lagi, sedangkan para pengajar ini perlu nafkah untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Jika ia sibuk mengajar tanpa mendapatkan upah, ia akan mengabaikan nafkah diri dan keluarganya. Sedangkan jika ia sibuk bekerja mencari nafkah, maka tidak ada lagi yang bisa mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, dan ini jelas berdampak buruk bagi umat Islam.
Karena itu, ulama mutaakhkhirin membolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, mempertimbangkan perubahan ‘urf dan kondisi yang ada.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Al-Wajiz Fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh Al-Kulliyyah, karya Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al-Burnu, Halaman 281-286, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Libanon.
Leave a Reply