Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Waktu Puasa yang Sangat Pendek atau Sangat Panjang

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Umat Islam di Murmansk, salah satu kota di Rusia, dikabarkan menjalani puasa hanya sekitar satu jam setiap harinya, karena saat musim dingin di sana, waktu siang memang sangat pendek. Apakah ini dibenarkan?

Kalau mengikuti dalil-dalil yang ada, penjelasan fuqaha dan nalar fiqih mereka, seharusnya tidak ada masalah dengan puasa semacam ini.

Dalam al-Qur’an al-Karim dinyatakan:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Artinya: “Makan dan minumlah, hingga tampak bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam hari.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dari ayat di atas, waktu puasa itu sejak terbit fajar hingga tiba malam hari, yang ditandai terbenamnya matahari (waktu maghrib). Hal ini pun disepakati oleh para ulama, bahwa puasa itu dari terbit fajar hingga terbenam matahari, baik waktunya panjang maupun pendek.

Dari sini bisa dipahami, selama di negeri tersebut masih bisa dibedakan antara siang dan malam, masih ada fajar dan maghrib, maka waktu puasanya adalah dari terbit fajar hingga terbenam matahari tersebut, meskipun waktunya hanya sebentar saja.

Apakah puasa semacam ini sesuai dengan maqashid dan hikmah puasa?

Mungkin dari sisi “merasakan lapar yang melahirkan empati kepada orang-orang yang kekurangan”, kurang terasa, karena lazimnya waktu satu jam setelah makan terakhir itu, belum terasa lapar. Namun dari sisi maqashid tertinggi dari ibadah, yaitu ketaatan dan ketundukan sepenuhnya pada perintah Allah ta’ala, maka itu telah terpenuhi. Wallahu a’lam.

Di sisi lain, kadang ada negeri yang harus menjalani puasa 18 jam atau lebih. Dar Ifta Mishriyyah memfatwakan, negeri yang puasanya 18 jam atau lebih ini, tidak bisa lagi mengikuti waktu fajar dan maghrib di negerinya, karena itu melahirkan masyaqqah yang berat, yang sulit ditanggung oleh seorang manusia.

Mereka menyatakan, untuk negeri semacam ini, penduduknya harus mengikuti durasi waktu puasa di Makkah, karena Makkah adalah Ummul Qura (induknya seluruh negeri). Jadi, mereka mulai puasa sejak fajar di negeri mereka, namun berbukanya mengikuti durasi waktu di Makkah. Jika di Makkah, durasi waktu puasanya, misalnya 12 jam, maka mereka berbuka puasa 12 jam setelah waktu fajar, meskipun saat itu di negeri mereka matahari belum terbenam.

Hanya saja, fatwa Dar Ifta Mishriyyah ini, tidak disetujui oleh banyak ulama. Al-‘Utsaimin misalnya menyatakan, fatwa semacam ini merupakan fatwa yang sangat keliru, menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak diketahui ada ulama sebelum ini yang berfatwa demikian.

Untuk kondisi semacam ini, kebanyakan ulama memfatwakan, bahwa penduduk negeri tersebut tetap berpuasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari di hari itu, selama siang dan malam, fajar dan maghrib, masih ada dan bisa dibedakan, sepanjang apapun siangnya. Namun jika ada yang tidak sanggup untuk puasa, boleh baginya membatalkan puasanya, dan mengqadhanya di luar Ramadhan, pada saat siang harinya tidak sepanjang saat itu.

Mana pendapat yang benar?

Dar Ifta Mishriyyah melandasi pendapatnya pada, menghindari masyaqqah yang berat. Sedangkan kebanyakan ulama melandasi pendapatnya pada keumuman dalil-dalil yang ada.

Pertanyaannya, bolehkah masyaqqah yang berat, mengubah ketentuan yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah?

Masyaqqah berat, kadang memang bisa membolehkan perkara-perkara yang sebelumnya dilarang, dan ini maklum bagi setiap pelajar fiqih (yang benar-benar belajar, bukan cuma klaim). Namun apakah ia juga membolehkan mengubah ketentuan syariat, seperti waktu berpuasa?

Jika pun alasannya masyaqqah, tidak adakah solusi lain selain mengubah waktu berbuka? Bukankah ada qadha puasa, sebagai alternatif yang lebih bisa diterima?

Leave a Reply