Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saya baca, ada yang menyatakan Al-Qaradhawi membolehkan makan dan minum saat adzan shubuh bagi orang yang puasa, yang ini merupakan pendapat syadz dan mardud. Namun sependek bacaan saya terhadap pendapat Al-Qaradhawi, penisbatan pendapat tersebut pada beliau, tidak benar.
Dalam salah satu fatwanya, beliau menyatakan:
إذا تأكد أن آذان الفجر في موعده المضبوط ، حسب التقويم المحلي للبلد الذي يصوم فيه ، وجب عليه أن يترك الأكل والشرب فور سماعه الأذان ، بل لو كان في فمه طعام وجب عليه أن يلفظه حتى يصح صومه . أما إذا كان يعرف أن الأذان قبل موعده بدقائق ، أو على الأقل يشك في ذلك فمن حقه أن يأكل أو يشرب حتى يستيقن من طلوع الفجر.
Artinya: “Jika dipastikan bahwa adzan fajar dilakukan pada waktunya yang tepat, sesuai dengan jadwal waktu shalat di negeri tempatnya puasa, wajib baginya meninggalkan makan dan minum sesegera mungkin saat mendengar adzan. Bahkan kalau di mulutnya ada makanan, wajib baginya mengeluarkannya agar puasanya sah.
Adapun jika diketahui bahwa adzan itu lebih cepat dari jadwal beberapa menit, atau minimal dia ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, boleh baginya untuk makan dan minum hingga dia yakin telah terbit fajar.”
Sumber fatwa: https://www.al-qaradawi.net/node/4022
Nah yang perlu dicatat, dalam kitab “Fiqh Ash-Shiyam” karya beliau, beliau menyatakan:
ومن هنا نعلم أن الأمر في وقت الفجر، ليس بالدقيقة، والثانية، كما عليه الناس اليوم، ففي الأمر سعة ومرونة وسماحة، كما كان عليه الكثير من السلف الصالح من الصحابة والتابعين.
Artinya: “Dari sini kita ketahui, bahwa soal waktu fajar, itu tidak diukur secara pasti dengan menit dan detik, sebagaimana yang dilakukan orang-orang di masa sekarang. Soal waktu fajar ini terdapat kelapangan, keluwesan dan kemudahan, sebagaimana yang diamalkan oleh banyak salafus shalih dari kalangan shahabat dan tabi’in.” (Hlm. 118)
Jadi ringkasnya:
1. Pendapat yang syadz dan tidak boleh diikuti, yang dikritik oleh para ulama selama ini, dan pernah beberapa kali saya tulis tentangnya, adalah pemahaman bahwa masih boleh makan dan minum saat adzan shubuh dengan keyakinan bahwa itu sudah masuk waktu shubuh. Jadi, pendapat syadz ini menyatakan, meski waktu shubuh atau fajar sudah masuk, selama adzan masih berkumandang, orang yang berpuasa masih boleh makan dan minum.
2. Al-Qaradhawi tidak berpendapat dengan pendapat syadz tersebut. Bahkan fatwa beliau yang saya nukil di atas, jelas menunjukkan beliau tidak menyelisihi ijma’ ulama tentang tidak boleh lagi makan dan minum, jika dipastikan sudah terbit fajar (sudah masuk waktu shubuh).
3. Beliau hanya memberikan kelonggaran dari sisi, bahwa penentuan terbitnya fajar itu tidak harus terlalu ketat dengan ukuran menit dan detik, sebagaimana umumnya yang berlaku saat ini.
Konsekuensi dari kelonggaran ini, jika seseorang masih syak antara fajar sudah terbit atau belum, dia masih boleh makan dan minum, meskipun sudah terdengar adzan berkumandang.
4. Tambahan informasi, beliau mengkritik penetapan waktu imsak beberapa menit sebelum shubuh demi kehati-hatian. Bagi beliau, ini menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan termasuk sikap ghuluw dalam agama.
Untuk bab jadwal imsak ini, meski saya sangat menghormati beliau, saya lebih mengikuti ulama yang tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Leave a Reply