Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fiqih Syafi'i

Waktu-waktu Yang Diharamkan Untuk Shalat

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ada lima waktu yang diharamkan (atau menurut sebagian ulama: waktu yang makruh tahrim) untuk shalat. Tiga di antaranya berkaitan dengan masa (الزمان), dua lagi berkaitan dengan aktivitas (الفعل).

Tiga waktu yang diharamkan berkaitan dengan masa adalah:

1. Dari terbit matahari sampai matahari meninggi setinggi tombak menurut pandangan mata telanjang. Dan ini sekitar 16 menit setelah terbit matahari.
2. Dari matahari tepat di atas (tepat tengah hari), sampai ia bergeser sedikit ke arah barat. Dan ini masanya sangat singkat sekali.
3. Dari matahari menguning di sore hari (saat matahari tampak menguning di atas puncak gunung yang tinggi) hingga terbenam.

Dua waktu yang diharamkan berkaitan dengan aktivitas adalah:

1. Setelah mengerjakan shalat shubuh hingga terbit matahari.
2. Setelah mengerjakan shalat ‘ashar hingga terbenam matahari.

Shalat yang diharamkan pada lima waktu di atas, ada dua jenis:

1. Shalat sunnah (nafilah) yang memiliki sebab yang datang belakangan (shalatnya dulu dilakukan baru sebabnya terjadi), dan shalat jenis ini ada enam, yaitu:

(a) Shalat sunnah ihram
(b) Shalat sunnah safar
(c) Shalat sunnah istikharah
(d) Shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dibunuh oleh musuh (sunnah al-qatl)
(e) Shalat sunnah saat akan keluar dari rumah
(f) Shalat sunnah hajat

2. Shalat sunnah (nafilah) muthlaqah, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab khusus juga tanpa dibatasi waktu tertentu. Termasuk dalam hukum shalat sunnah muthlaqah ini juga, shalat tasbih dan semisalnya.

Dikecualikan dari keharaman shalat di atas, pada satu tempat dan satu masa, yaitu:

1. Untuk tempat, di tanah haram Makkah Al-Mukarramah, boleh shalat sunnah kapan saja di sana, termasuk pada lima waktu yang diharamkan.
2. Untuk masa, dari istiwa (tepat tengah hari) sampai matahari tergelincir ke arah barat, di hari Jum’at.

Adapun shalat qadha, shalat sunnah (nafilah) yang memiliki sebab terdahulu (sebab dulu terjadi baru shalat dikerjakan), seperti shalat sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid, serta shalat sunnah (nafilah) yang memiliki sebab berbarengan, seperti shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, tidak diharamkan shalat pada lima waktu yang diharamkan di atas. Kecuali jika ia sengaja meniatkan melakukan shalat tepat pada waktu yang diharamkan, maka haram juga hukumnya.

Catatan tambahan:

1. Haram dan makruh tahrim, memiliki kesamaan, yaitu sama-sama berdosa jika dilakukan. Bedanya, perkara haram itu ditetapkan melalui dalil yang qath’i dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil, seperti keharaman minum khamr, sedangkan perkara makruh tahrim itu ditetapkan melalui dalil yang mengandung kemungkinan ta’wil, seperti larangan shalat pada lima waktu di atas.

2. Jika khatib Jum’at sudah naik ke atas mimbar, haram melakukan shalat apapun berdasarkan ijma’, termasuk shalat qadha yang harusnya wajib dilakukan secepatnya dan tidak boleh ditunda (shalat qadha karena meninggalkan shalat tanpa uzur), kecuali shalat tahiyyatul masjid. Dan untuk tahiyyatul masjid, wajib dikerjakan secara ringan (tidak diperpanjang dan dilambat-lambatkan), serta tidak boleh lebih dari dua rakaat.

Wallahu a’lam.

Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-‘Ibadat, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 192-194, Penerbit Dar Al-‘Ulum Al-Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.

Leave a Reply