Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fiqih Hadits & Khilaf Ulama

Cukupkah Hadits Yang Dishahihkan Sebagian Ulama Untuk Menetapkan Hukum dan Menyelesaikan Persoalan Khilaf?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Shahabat Nabi, Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menceritakan, bahwa seorang laki-laki berkata pada Rasulullah, “Saya memegang dzakar saya”, atau berkata, “Ada seseorang memegang dzakarnya sendiri saat shalat, apakah ia wajib wudhu?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menanggapi:

لا، إنما هو بضعة منك

Artinya: “Tidak, ia hanya bagian dari tubuhmu.”

Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, dan beliau menyatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam yang Lima (maksudnya: Imam Ahmad dan Penulis As-Sunan Al-Arba’ah), dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Ibnul Madini berkata, Hadits ini lebih baik dari Hadits Busrah”.

Untuk mengetahui kedudukan Hadits ini, salah satunya bisa dilihat dari orang yang menganggapnya “ahsan” (lebih baik) dari Hadits yang lain, yaitu Ibnul Madini. Beliau adalah Abul Hasan ‘Ali bin ‘Abdillah Al-Madini. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Dia adalah Hafizhul ‘ashr, dan pemimpin ulama Hadits”, aw kama qaala.

Ibnu Mahdi, salah satu ulama besar Hadits, berkata tentang Ibnul Madini, “‘Ali bin Al-Madini adalah orang yang paling alim terhadap Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” An-Nasai berkata tentangnya, “Seakan-akan ‘Ali bin Al-Madini diciptakan untuk ilmu ini.”

Intinya, ‘Ali bin Al-Madini adalah salah seorang ulama Hadits terbesar yang pernah dimiliki oleh umat Islam sepanjang zaman, dan penilaiannya terhadap suatu Hadits, layak untuk diterima.

Terlebih, Hadits ini juga dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thabarani, dan Ibnu Hazm. Ath-Thahawi bahkan berkata, “Sanadnya kokoh, tidak idhthirab (goncang), tidak seperti Hadits Busrah.”

Baik, sekarang kita mengarah pada pertanyaan pentingnya, jika Hadits ini dishahihkan oleh ulama-ulama di atas, cukupkah ia menjadi penentu hukum, bahwa menyentuh dzakar (kemaluan laki-laki) dan juga kemaluan perempuan (berdasarkan qiyas), tidak membatalkan wudhu? Dan, karena Haditsnya shahih, artinya perkara sudah jelas, dan tak boleh ada khilaf di kalangan ulama dalam hal ini? Apakah begitu? Ternyata tidak sesederhana itu.

Di atas sudah disinggung beberapa kali tentang Hadits Busrah. Mari kita lihat Hadits tersebut. Busrah binti Shafwan, merupakan salah satu shahabiyah, shahabat Nabi dari kalangan perempuan, radhiyallahu ‘anha. Beliau menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من مس ذكره فليتوضأ

Artinya: “Siapa saja yang memegang dzakarnya, maka ia harus berwudhu.”

Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di Bulughul Maram, setelah Hadits Thalq. Beliau berkata tentang Hadits ini: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam yang Lima, dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Al-Bukhari berkata, ia merupakan Hadits yang paling shahih dalam bab ini.”

Dalam Taudhihul Ahkam, dikatakan bahwa Hadits ini diriwayatkan oleh Malik, Asy-Syafi’i, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ad-Daraquthni dan Al-Hakim. Dan ia dishahihkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ad-Daraquthni, Ibnu Ma’in, Al-Hazimi, Al-Baihaqi, dan yang lainnya.

Ternyata, Hadits Busrah, juga banyak yang menshahihkannya, bahkan lebih banyak dari Hadits Thalq, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Subulus Salam. Bahkan Al-Bukhari menyatakan, bahwa Hadits ini merupakan Hadits paling shahih dalam bab ini, artinya ia lebih kuat dari Hadits Thalq.

Seandainya dua Hadits yang sama-sama dishahihkan banyak ulama ini, maknanya sama, tentu tak ada masalah. Keduanya bisa saling menguatkan. Namun faktanya, makna keduanya terlihat bertentangan. Hadits Thalq menyatakan, menyentuh kemaluan tak membatalkan wudhu, sedangkan Hadits Busrah menyatakan sebaliknya, ia membatalkan wudhu. Artinya, terjadi ta’arudh (pertentangan) antar dua Hadits ini, dan dalam Ushul Fiqih, menurut jumhur ulama, kita diajarkan, jika terjadi pertentangan antar dua dalil yang sama-sama layak dijadikan hujjah, maka perlu dilakukan jama’ (mengamalkan kedua Hadits tersebut, dengan melihat sisi-sisi yang sama atau beririsan pada kedua Hadits tersebut), atau jika tidak bisa, maka dilakukan tarjih (menguatkan salah satu dan mengamalkannya, sedangkan Hadits satunya tidak diamalkan).

Pada bagian ini, para ulama ternyata berbeda pendapat. Jumhur ulama mengikuti pendapat bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu, berdasarkan Hadits Busrah, namun mereka masing-masing berbeda dalam perinciannya. Sedangkan kalangan Hanafiyyah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, menyatakan menyentuh kemaluan tak membatalkan wudhu, mengikuti Hadits Thalq.

Sebagian ulama lain, mencoba menjama’ kedua Hadits ini. Imam Malik misalnya menyatakan, berwudhu karena menyentuh kemaluan hukumnya mandub, tidak wajib.

Yang memilih menguatkan Hadits Busrah, ada yang melihatnya dari sisi nasikh-mansukh, bahwa Hadits Busrah ini datang kemudian, sedangkan Hadits Thalq itu terjadi di awal Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Sehingga Hadits Busrah me-nasakh (menghapus hukum) Hadits Thalq, dan yang diamalkan adalah Hadits Busrah.

Ada juga yang melakukan tarjih, dengan menguatkan salah satu Hadits dari sisi isnadnya. Al-Baihaqi misalnya berkata: “Cukuplah untuk menguatkan Hadits Busrah atas Hadits Thalq, bahwa Hadits Thalq ini tidak dikeluarkan (diriwayatkan dalam kitab mereka) oleh penulis dua kitab Shahih (maksudnya: Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), juga salah satu rawinya tidak dijadikan hujjah oleh keduanya. Sedangkan Hadits Busrah, seluruh rawinya dijadikan hujjah oleh kedua Imam, meskipun mereka tidak mengeluarkan Hadits tersebut di kitab mereka.”

Juga, dalam hadits Thalq, ada rawi (periwayat Hadits) bernama Qays bin Thalq. Asy-Syafi’i berkata tentangnya, “Kami telah menanyakan tentang Qays bin Thalq, dan kami tidak menemukan ulama yang mengetahuinya, sehingga kami tidak bisa menerima informasi (riwayat) darinya.”.

Pembahasan ini cukup panjang di kitab-kitab Syarah Hadits dan kitab-kitab Fiqih. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahasnya panjang lebar. Yang ingin mendalaminya, silakan baca di berbagai kitab yang membahas hal ini.

Yang ingin saya tunjukkan adalah, adanya satu Hadits Shahih, atau dishahihkan oleh sebagian ulama, tak serta-merta meniscayakan bahwa ia wajib diamalkan, dan tak boleh ada khilaf di kalangan ulama. Contoh yang saya sebutkan di tulisan ini, menunjukkan Hadits Thalq, yang dishahihkan oleh banyak ulama, ternyata hanya diamalkan oleh sebagian ahli fiqih saja. Sebagian lagi, tidak mengamalkannya, baik karena menganggapnya mansukh (hukumnya terhapus), atau ia dianggap lebih lemah dari Hadits Busrah, sehingga tak layak diamalkan.

Wallahu a’lam.

Bahan Bacaan:
1. Subulus Salam Syarh Bulughil Maram, karya Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani
2. I’lamul Anam Syarh Bulughil Maram, karya Nuruddin ‘Itr
3. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, karya ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam

Leave a Reply