Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fiqih Hadits & Khilaf Ulama

Hukum Berkumur Dan Istinsyaq Dalam Wudhu

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Pengantar

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surah Al-Maaidah Ayat 6 yang menjelaskan tentang cara berwudhu:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian akan mendirikan Shalat, maka basuhlah wajah kalian, dan tangan kalian hingga sampai ke siku, usaplah kepala kalian, dan basuhlah kaki kalian hingga sampai mata kaki.” (QS. Al-Maaidah [5]: 6)

Ayat ini merupakan dalil utama yang membahas tentang kaifiyyah (tata cara) berwudhu.

Selain itu, banyak juga Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tata cara wudhu Nabi. Dari banyak Hadits tersebut, sebagiannya menunjukkan tata cara yang sedikit berbeda dengan yang disebutkan pada Hadits lain. Inilah salah satu penyebab perbedaan pendapat para Ulama tentang tata cara wudhu serta hukum-hukum yang terkait dengannya.

Salah satu yang diperselisihkan oleh para ulama adalah tentang hukum berkumur (madhmadhah) dan memasukkan air ke hidung (istinsyaq). Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd Al-Hafid (dengan ta’liq dari Dr. ‘Abdullah Al-‘Abbadi), disebutkan ada tiga pendapat ulama tentang hal ini, yaitu:

1. Keduanya sunnah dalam wudhu, tidak wajib. Ini adalah pendapatnya Malik, Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah. Diriwayatkan juga, bahwa ia pendapat dari Al-Hasan, Al-Hakam, Hammad, Qatadah, Rabi’ah, Yahya Al-Anshari, Al-Laits, dan Al-Auza’i.

2. Keduanya fardhu dalam wudhu. Ini adalah pendapat Ibn Abi Laila dan sekelompok pengikut Dawud Azh-Zhahiri. Ini juga merupakan pendapat masyhur dalam madzhab Ahmad bin Hanbal.

3. Memasukkan air ke hidung hukumnya fardhu, sedangkan berkumur hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid dan sekelompok Ahluzh Zhahir. Juga pendapat Ibnul Mundzir dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal.

Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Hal Ini?

Sebelum menjawab hal ini, mari kita lihat beberapa Hadits Nabi yang menyebutkan hal ini:

Humran, maula dari ‘Utsman bin ‘Affan, meriwayatkan bahwa ia melihat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu minta diambilkan wadah air untuk berwudhu, kemudian beliau berwudhu, dan di akhir wudhunya beliau menyatakan, “Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini”. Dan dalam Hadits ini disebutkan:

ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ

Artinya: “…Kemudian beliau berkumur, ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), dan ber-istintsar (mengeluarkan air dari hidung)…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, disebutkan dalam kitab ‘Umdatul Ahkam)

Shahabat ‘Abdullah bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ditanya tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menunjukkan bagaimana wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui praktek. Di antara yang beliau tunjukkan adalah:

فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا، بِثَلاَثِ غَرَفَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya: “…Kemudian beliau berkumur, ber-istinsyaq dan ber-istintsar tiga kali, dengan tiga kali cidukan air…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lafazh dari Al-Bukhari)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ، ثُمَّ لِيَنْثُرْ

Artinya: “Jika salah seorang dari kalian berwudhu, hendaklah ia memasukkan air ke hidungnya, kemudian ia keluarkan…” (HR. Al-Bukhari dan lainnya)

Shahabat Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Hadits:

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

Artinya: “Jika engkau berwudhu, hendaklah berkumur-kumur.” (HR. Abu Dawud)

Hadits keempat ini, sebagaimana disebutkan dalam Minhatul ‘Allam, diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, dan sanadnya Shahih, sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Namun, sebagian ulama menganggap Hadits ini dan semisalnya, yang berisi perintah berkumur-kumur dalam wudhu, tidak Shahih. Yang beranggapan seperti ini misalnya Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd.

Dan masih banyak Hadits-hadits lainnya tentang persoalan ini. Namun empat Hadits di atas, kita anggap memadai sebagai contoh untuk pembahasan ini.

Sekarang kita kembali ke pertanyaan besarnya, mengapa para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkumur dan istinsyaq dalam wudhu?

Apakah Mulut dan Hidung Bagian Dalam Termasuk Bagian dari Wajah?

Bahasan pertama adalah dari sisi, apakah bagian dalam lubang hidung dan bagian dalam mulut termasuk bagian wajah. Jika keduanya termasuk wajah, maka ia wajib dibasuh, sebagai konsekuensi kewajiban membasuh wajah yang ditetapkan dalam Surah Al-Maaidah Ayat 6. Jika keduanya bukan termasuk wajah, maka untuk menyatakannya wajib dibasuh, perlu dalil tersendiri.

Para ulama yang menyatakan berkumur-kumur dan istinsyaq tidak wajib dalam wudhu, menyatakan bahwa ia tidak termasuk wajah. Karena orang Arab (sebagai pemilik dan pengguna bahasa yang dipakai dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) menyatakan, yang dimaksud wajah adalah yang langsung tampak saat seseorang berhadap-hadapan dengan yang lain. Dan bagian dalam tubuh, seperti bagian dalam mulut dan hidung, tidak tampak saat itu, sehingga ia tidak termasuk bagian dari wajah.

Sedangkan sebagian fuqaha lainnya, menyatakan keduanya termasuk bagian dari wajah, yang wajib dibasuh dengan air. Lajnah Daimah Lil Ifta Kerajaan Saudi Arabia menyatakan: “Berkumur dan istinsyaq dalam wudhu telah tsabit dari perbuatan dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan keduanya termasuk dalam bagian membasuh wajah.” Syaikh Shalih Al-Fauzan, salah satu ulama senior Saudi Arabia kontemporer, menyatakan, “Orang yang membasuh wajahnya, dan meninggalkan berkumur dan istinsyaq, atau meninggalkan salah satunya, tidak sah wudhunya, karena mulut dan hidung bagian dari wajah.”

Apakah Kandungan Hadits-Hadits yang Berisi Penjelasan Wudhu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Ta’arudh (Bertentangan) Dengan Kandungan Ayat Al-Qur’an Surah Al-Maaidah Ayat 6?

Bahasan berikutnya adalah tentang posisi Al-Qur’an Surah Al-Maaidah Ayat 6, dengan Hadits-Hadits yang berisi penjelasan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Surah Al-Maaidah Ayat 6, hanya disebutkan 4 perbuatan dalam wudhu, yaitu: Membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai ke siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Sedangkan dalam Hadits-Hadits yang ada, disebutkan hal-hal lain, termasuk di antaranya berkumur dan istinsyaq.

Apakah ini berarti terjadi ta’arudh (pertentangan) antara Ayat Al-Qur’an dengan Hadits-Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Para ulama yang menganggap terjadi ta’arudh, mengalihkan hal-hal yang disebutkan dalam Hadits dan tidak disebutkan dalam Ayat Al-Qur’an, dari hukum wajib menjadi mandub. Artinya, yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah kewajiban atau rukun wudhu, sedangkan sisanya yang disebutkan dalam berbagai Hadits Nabi, hukumnya mandub atau sunnah, tidak wajib.

Ini adalah solusi yang mereka tempuh, agar Ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi yang tampak saling bertentangan (ta’arudh), tidak bertentangan lagi.

Sedangkan para ulama yang tidak melihat terjadi ta’arudh (pertentangan) sejak awal, menganggap Hadits-Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan penjelasan dan perincian dari perintah berwudhu dalam Ayat Al-Qur’an. Karena itu mereka membawa hukum berkumur dan istinsyaq ini pada zhahirnya Hadits, yang menunjukkan hukumnya wajib. Terlebih, berkumur dan istinsyaq ini terus dilakukan Nabi (bukan hanya sekali-sekali dilakukan beliau), dan itu menunjukkan bahwa keduanya wajib hukumnya. Mereka tidak membedakan antara berkumur dan istinsyaq.

Sebagian ulama lainnya, menganggap bahwa kedudukan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perintah beliau berbeda. Menurut mereka, perkataan atau perintah Nabi, berkonsekuensi wajib. Sedangkan perbuatan Nabi, dan tidak ada perintah secara langsung dari beliau, hukumnya hanya mandub. Karena itu mereka menyatakan, bahwa istinsyaq hukumnya wajib, karena ada perintah dari Nabi. Sedangkan berkumur hukumnya mandub atau sunnah, karena hanya disebutkan Nabi melakukannya, namun tidak ada perintah dari beliau.

Namun, sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan, sebenarnya ada Hadits Nabi riwayat Abu Dawud, yang menunjukkan bahwa ada perintah Nabi untuk berkumur. Dan sanad Haditsnya dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan yang lainnya. Namun, sebagian ulama menganggap tidak ada Hadits shahih yang menunjukkan perintah berkumur dalam wudhu, sehingga mereka tetap menyatakan istinsyaq wajib, sedangkan berkumur mandub.

Apakah Ada Argumentasi Lainnya?

Yang saya tuliskan ini, hanyalah ringkasan dari diskusi para ulama tentang hukum persoalan berkumur dan istinsyaq dalam wudhu ini. Sebenarnya, jika kita menelaah berbagai kitab referensi, baik yang primer maupun sekunder, penjelasan mereka lebih panjang lebar lagi. Sebagai contoh saja, ada Hadits Nabi yang menyatakan ada 10 hal yang merupakan fithrah, dan beliau menyebutkan berkumur dan istinsyaq sebagai salah duanya. Sebagian ulama menyatakan, bahwa hal yang fithrah itu sunnah (mandub) hukumnya, sehingga berkumur dan istinsyaq yang termasuk fithrah, sunnah juga hukumnya.

Namun, meskipun ringkas dan belum mencakup semua bahasan, semoga tulisan ini bisa menambah kekayaan wawasan kita. Bahwa, sering kali ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama, itu bukan karena satu pihak melandasi pendapatnya dari dalil, sedangkan pihak lain menyelisihi dalil. Ikhtilaf ulama sering terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami kandungan Ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang ada, dan perbedaan pemahaman mereka, meniscayakan perbedaan hukum yang mereka tetapkan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Referensi Kitab Fiqih dan Syarah Hadits:

1. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd Al-Hafid, dengan ta’liq dari Dr. ‘Abdullah Al-‘Abbadi
2. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, karya Kumpulan Ulama
3. Subulus Salam Syarh Bulughil Maram, karya Al-Amir Ash-Shan’ani
4. Minhatul ‘Allam fi Syarh Bulughil Maram, karya ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
5. Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id

Referensi dari Website:

1. https://islamqa.info/ar/153791 (Memuat fatwa dari Lajnah Daimah Lil Ifta, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lainnya)

Leave a Reply