Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Intelektual dan Pemikiran yang Kontradiktif

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Jika iman itu soal kepercayaan masing-masing, yang tidak bisa digugat, sekaligus tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, seperti yang dipahami oleh sebagian intelektual dan generasi milenial serta gen Z saat ini, maka secara tidak langsung ia membatalkan isi Al-Qur’an yang banyak berisi gugatan terhadap keyakinan musyrikin dan ahli kitab, sekaligus hujjah atas kebenaran diin Islam. Pemahaman seperti ini juga cenderung mengabaikan ribuan karya ilmiah ulama Islam sejak dulu, yang menjelaskan secara rinci dan argumentatif kebenaran diin Islam dan kebatilan ajaran selain Islam. Sekaligus ia melahirkan orang-orang yang kontradiktif dalam bersikap. Imannya tidak ingin diragukan, tapi dia sendiri menyampaikan berbagai keraguan atas konsekuensi keimanannya sendiri dengan dalih “wacana ilmiah” dan “penelitian sains”.

Dikotomi antara iman dan pengetahuan, harus diakui, bahkan diajarkan di sekolah-sekolah kita. Contoh sederhana, tentang asal-usul manusia. Dalam nash, kita ketahui bahwa kita semua adalah anak keturunan Adam, dan Adam adalah manusia pertama yang diciptakan dari tanah, dan itu yang diajarkan misalnya saat kita belajar aqidah atau cerita para Nabi. Tapi di pelajaran biologi, dikatakan bahwa manusia dan berbagai hewan lainnya, termasuk monyet, berasal dari nenek moyang yang sama, dan banyak dari kita yang menerima itu sepenuh hati. Jadi, secara keimanan, kita diminta meyakini Adam sebagai manusia pertama yang langsung diciptakan dari tanah, bukan hasil evolusi dari makhluk bernyawa lainnya, namun secara sains, kita diminta menerima bahwa manusia itu hasil evolusi dari makhluk bernyawa lainnya. Ini jelas kontradiktif (tanaqudh), dan akal kita secara alami akan menolak bertemunya dua hal yang tanaqudh seperti ini. Sama seperti kita disuruh meyakini bahwa sesuatu itu diam sekaligus bergerak di saat yang sama. Ini mustahil ‘aqlan.

Contoh lain, yang berkembang saat ini, dalam keimanan, ada orang yang mengaku mengimani Al-Qur’an itu kalam Allah ta’ala tanpa ragu, tapi secara “ilmiah” dia membuat berbagai karya tulis yang meragukan keabsahan Al-Qur’an itu sendiri. Lagi-lagi ini tanaqudh, dan tidak mungkin terjadi pada orang yang berakal sehat. Bagaimana bisa, di saat yang sama, dia mengakui kebenaran Al-Qur’an tanpa ragu, sekaligus mengkritik keabsahan dan membuat keragu-raguan tentangnya?

Contoh lagi, ada orang yang menyatakan dia meyakini sepenuh hati bahwa dia beragama Islam, tapi seluruh sendi-sendi pokok ajaran Islam dia kuliti dan ragukan dalam berbagai pernyataan dan tulisannya. Ini tidak masuk akal. Pilihan logisnya cuma dua, dia meyakini kebenaran Islam sekaligus menerima pokok-pokok ajaran Islam yang ma’lum minad diin bidh dharurah, atau dia meninggalkan Islam dan meragukan kebenaran ajarannya. Aneh sekali kalau ada orang yang menyatakan, dia mengimani Islam sekaligus meragukan kebenaran Islam.

Sayangnya, hal tak masuk akal seperti ini, menjadi paham yang berkembang saat ini, bahkan dijajakan oleh sebagian intelektual dan akademisi. Orang awam yang tak pernah belajar mantiq, atau tak terbiasa berpikir logis, menganggap hal ini sebuah pencerahan. Padahal sejak awal ia adalah hal yang kontradiktif, tidak bisa diterima akal sehat. Dan ketika kita mengkritik sikap tanaqudh ini, mereka dengan falasinya menuduh kita hanya mengikuti dogma. Padahal jelas, siapa yang menggunakan akal pikirannya dan siapa yang jatuh pada waham dan kejahilan.

Leave a Reply