Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Kewajiban Mengikuti Al-Qur’an Dan As-Sunnah

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4]: 59)

Makna ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ dalam ayat di atas adalah kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Mujahid yang dikutip oleh Imam Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir: 2/342 dan seterusnya, Dar Thayyibah). Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam setiap perkara yang diperselisihkan oleh manusia, baik dalam hal pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya.

Ini adalah perkara yang sangat jelas dalam Islam, dan yang mengingkarinya dihukumi kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Al-Qur’an dan As-Sunnah pun dalam kajian fiqih dan ushul fiqih merupakan sumber utama ajaran Islam, yang jika penetapan hukum ada padanya, maka tak boleh kita meninggalkannya dan mengambil hukum dari dalil yang tingkatannya berada di bawahnya.

Dalam praktiknya, berdasarkan tinjauan fiqih dan ushul fiqih, bagi kebanyakan orang yang derajat keilmuannya belum mencapai derajat ijtihad (belum bisa menggali hukum secara mandiri dari Al-Qur’an dan As-Sunnah), jika ia menemukan para ulama berbeda pendapat dalam satu persoalan, maka yang memiliki sedikit alat untuk berijtihad (namun belum matang untuk berijtihad secara mandiri), bisa melakukan perbandingan dari beberapa pendapat ulama mujtahid yang ada, yang mana yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka itulah yang diambil. Yang dimaksud lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah ini tentu sebatas yang dipahami olehnya, dari sedikit ilmu yang pernah dia pelajari.

Jika tak mampu melakukan perbandingan pendapat, karena lemahnya ilmu alat untuk berijtihad, atau malah tak memilikinya sama sekali, yang perlu dilakukan adalah mengambil salah satu pendapat berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya pendapat tersebut lebih banyak diamalkan oleh para ulama, atau yang mengemukakan pendapat tersebut kapasitas keilmuannya lebih diakui oleh para ulama, dan lain-lain. Dengan catatan, pendapat yang berbeda dengan pendapat yang kita ikuti tidak boleh dicela, karena faktanya kita sendiri sebenarnya tak mengetahui pendapat manakah yang lebih kuat.

Dan secara prinsip, selama satu pendapat dikemukakan oleh seorang ulama mujtahid dan tidak menabrak prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang diketahui oleh semua orang, kita dibolehkan untuk mengikuti pendapat tersebut.

Namun jika ada pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang, seperti tentang kepastian adanya hari kiamat dan perhitungan amal manusia, kekuasaan Allah atas segala sesuatu, status Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, wajibnya shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, serta haramnya riba dan zina, maka pendapat yang menyelisihi prinsip-prinsip ini bisa dipastikan keliru, sesat dan menyesatkan, bahkan kekufuran.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply