Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ada seorang Syaikh yang menyatakan yang maknanya, “Jika saat anda duduk di majlis ilmu ini, anda diberitahu bahwa anda sebentar lagi dijemput malakul maut, kemudian anda segera keluar dari majlis ini dan menyibukkan diri dengan shalat dan ibadah lainnya, berarti anda tidak menganggap majlis ilmu ini dan hadir di dalamnya sebagai amal ketaatan dan taqarrub ilallah.” Saya sampaikan ini dengan redaksi saya sepenuhnya, tapi maknanya insyaallah sesuai yang diinginkan Syaikh tersebut.
Inilah kita. Sebagian kita tidak menganggap majlis ilmu dan semua hal berkaitan ilmu itu sebagai ketaatan dan taqarrub ilallah, sehingga merasa risih saat orang menyampaikan ilmu yang ‘agak keras’ menurutnya, apalagi jika berisi kritik kepada yang lain. Dia katakan, “Puasa kok berdebat, sayang sekali pahala puasanya bisa hilang.” Padahal, memberikan kritik ilmiah, selama tujuannya benar, dilandasi ilmu dan dilakukan mengikuti adab-adabnya, itu adalah amal shalih dan berpahala. Kok dianggap menghilangkan pahala puasa?
Adapun tradisi salaf yang menutup majlis ilmunya selama Ramadhan, itu bahasan lain. Itu terkait prioritas amal di sisi mereka. Mereka memilih untuk seharian berinteraksi dengan Al-Qur’an di bulan turunnya Al-Qur’an ini, sehingga menghentikan semua majlisnya. Kalau kita, malah semakin banyak jadwal ceramahnya, karena mumpung orang-orang di bulan ini lebih religius, lebih siap untuk mendengarkan materi-materi agama. Tidak ada yang salah.
Kembali lagi, yang dilarang itu perkataan dusta, ghibah, namimah, mengumpat dan menghujat, menyerang bukan mengkritik secara ilmiah, dan semisalnya. Ini bukan cuma dilarang saat Ramadhan, tapi juga di luar Ramadhan. Namun saat Ramadhan lebih ditekankan lagi, karena bisa menghilangkan pahala dan nilai puasanya.
Leave a Reply