Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saat mendefinisikan shahih dan bathil, penulis “Al-Waraqat” menyatakan bahwa shahih adalah yang sesuatu yang nufudz (terlaksana) dan i’tidad (teranggap), sedangkan batil adalah sesuatu yang tidak nufudz dan tidak i’tidad. Dan hal ini berlaku baik pada ibadah maupun muamalah. Artinya ibadah yang shahih (ibadah yang sah) artinya ia nufudz dan i’tidad, sedangkan ibadah yang tidak sah berarti ia tidak nufudz dan tidak i’tidad. Demikian juga pada akad muamalah.
Namun Al-Mahalli dalam “Syarah”-nya menyatakan bahwa secara istilah akad muamalah disifati dengan nufudz dan i’tidad, sedangkan ibadah hanya disifati dengan i’tidad saja. Dr. Amjad Rasyid dalam “Al-Imla” menyatakan bahwa secara bahasa, ibadah sebenarnya juga bisa disifati dengan nufudz, sebagaimana akad muamalah. Artinya, perbedaannya di sini hanya secara istilah.
Lalu apa penyebab perbedaan ini?
Dr. Sa’id Fudah dalam “Hasyiyah”-nya menyatakan bahwa sesuatu disebut i’tidad (teranggap) ketika ia sah dan diterima, dan terlahir darinya konsekuensi dari keabsahan tersebut. Sedangkan nufudz (terlaksana) ini berkaitan dengan dua pihak yang bertransaksi, yang maknanya masing-masing pihak punya kewenangan untuk menuntut haknya dan meminta pihak satunya memenuhi kewajibannya. Dan hal ini wajar pada akad muamalah, karena ia transaksi antar sesama makhluk.
Adapun ibadah yang merupakan hubungan dengan Allah ta’ala, merupakan sikap yang suul adab jika seorang hamba menuntut haknya, yaitu pahala, kepada Allah ta’ala, dan mewajibkan Allah untuk memberikannya kepadanya. Karena itu, secara istilah, ibadah hanya disifati dengan i’tidad saja, dan tidak dengan nufudz.
Wallahu a’lam.
Rujukan:
1. Hasyiyah ‘Ala Syarh Al-Mahalli ‘Ala Al-Waraqat, karya Dr. Sa’id Fudah, Halaman 26-27, Penerbit Dar An-Nur Al-Mubin, ‘Amman, Yordania.
2. Al-Imla ‘Ala Syarh Al-Mahalli Li Al-Waraqat, karya Dr. Amjad Rasyid, Halaman 81, Penerbit Dar Al-Fath, ‘Amman, Yordania.
Leave a Reply