Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Mengikuti Ulama dan Bersikap Inshaf Terhadap Mereka (Bagian 1)

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ada dua konsep yang sama-sama benar, dan sama-sama perlu diketahui oleh kalangan awam, namun mungkin bagi sebagian orang tampak kontradiktif, yaitu konsep “orang awam tugasnya mengikuti ulama” dan konsep “pendapat salah satu ulama bukan standar kebenaran”. Tugas orang awam adalah bertanya dan mengikuti ulama, dan pada satu persoalan cukup baginya bertanya dan ikut pendapat satu ulama. Bahkan, kalau dia mau, boleh baginya untuk mengikuti pendapat satu ulama saja dalam seluruh persoalan agama (sekadar boleh, tidak wajib).

Sebagian orang mungkin bertanya, kalau pendapat salah satu ulama itu bukan standar kebenaran, lalu mengapa kita disuruh mengikuti pendapat mereka, bahkan boleh mengikuti pendapat satu ulama saja dalam seluruh atau sebagian besar persoalan agama kita? Bukankah itu tampak kontradiktif?

Jawabannya, itu tidak kontradiktif. Kewajiban orang awam mengikuti pendapat ulama merupakan pandangan mayoritas ulama, berdasarkan firman Allah ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Bertanyalah kepada ulama, jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]: 43)

Kebolehan orang awam untuk mengikuti satu ulama atau satu madzhab saja dalam seluruh persoalan agamanya, juga merupakan hal yang diterima oleh kebanyakan ulama, bahkan ada yang mewajibkan, meski pendapat yang mewajibkan tersebut dianggap lemah oleh sekian ulama.

Hal di atas tidak kontradiktif dengan konsep “pendapat salah satu ulama bukan standar kebenaran”, karena ketika orang awam mengikuti pendapat satu ulama, dia sedang melakukan tugasnya sebagai orang awam, dan itu tidak berkonsekuensi dia menganggap sang ulama yang dia ikuti itu standar kebenaran. Dia hanya mengikuti ulama, yang berdasarkan ghalabatuzh zhan-nya, menyampaikan pendapat yang sesuai dengan dalil, dan seiring dengan itu dia juga masih membuka ruang untuk menerima bahwa mungkin saja sang ulama keliru dalam pendapatnya tersebut. Hal ini bukan hal yang aneh, bagi yang terbiasa membaca literatur karya para ulama.

Tugas semua muslim mukallaf adalah terikat dengan aturan syariat, dan orang awam hanya bisa terikat dengan syariat jika dia mengikuti ulama yang menjelaskan hukum syariat tersebut, karena dia sendiri tidak punya kapasitas untuk menggali hukum syariat langsung dari dalil. Pada kondisi ini, dia mengikuti ulama yang dia sangka kuat (ghalabatuzh zhan) pendapatnya sesuai dengan dalil (dengan melihat kemasyhuran keilmuan sang ulama dan faktor-faktor lainnya, yang bukan di sini tempat untuk menguraikannya).

Dan kita paham, ghalabatuzh zhan itu masih membuka ruang kekeliruan, di sinilah poin “pendapat satu ulama bukan standar kebenaran” bisa masuk. Artinya, langkah si awam mengikuti pendapat satu ulama, adalah tugas yang harus dia lakukan untuk terikat dengan syariat, sembari dia meyakini bahwa pendapat ulama lain yang berbeda dengan pendapat ulama yang dia ikuti, mungkin saja benar, dan sebaliknya pendapat yang dia ikuti mungkin saja keliru. Mudahnya, “pendapat yang saya ikuti itu benar menurut ghalabatuzh zhan saya, namun masih ada kemungkinan keliru.”

Wallahu a’lam.

Leave a Reply