Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Mengikuti Ulama dan Bersikap Inshaf Terhadap Mereka (Bagian 2)

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Melanjutkan tulisan sebelumnya. Lalu apa faidah orang awam memahami dua konsep “orang awam tugasnya mengikuti ulama” dan “pendapat salah satu ulama bukan standar kebenaran” ini?

Ada beberapa faidah, di antaranya:

1. Si awam tidak akan mudah menyerang praktik beragama muslim lain, yang berbeda dengan praktik beragama yang dia lakukan, selama itu masih dalam ranah ijtihad ulama. Karena dia paham, yang dia amalkan itu adalah hasil ijtihad ulama, dan yang orang lain amalkan juga hasil ijtihad ulama, dan pendapat satu ulama bukan standar kebenaran yang bisa digunakan untuk membatalkan pendapat ulama lain.

Dari sini akan lahir sikap tasamuh (toleran) terhadap perbedaan pendapat ulama dan pengamalannya. Yang mengamalkan qunut shubuh misalnya, tidak menganggap sesat yang tidak qunutan. Demikian juga sebaliknya, yang tidak qunut tidak menganggap pengamal qunut sebagai ahli bid’ah nan sesat.

2. Salah satu penyakit orang-orang yang baru hijrah, kemudian ikut pengajian di satu komunitas tertentu, adalah punya semangat yang terlalu tinggi dalam mengajak orang lain untuk ikut ngaji di komunitas yang dia ikuti, sembari menilai buruk komunitas atau kelompok muslim lainnya. Seakan jalan keselamatan itu, hanya ada di komunitasnya, dan setiap muslim wajib ikut komunitasnya tersebut.

Namun jika dia sudah memahami dua konsep di atas, “semangat terlalu tinggi” ini pelan-pelan akan menjadi reda, dan dia bisa bersikap lebih proporsional terhadap keragaman praktik beragama yang ada. Dia akan memaklumi berbagai perbedaan yang ada, selama itu masih dalam ranah ijtihad ulama, dan tidak akan menggebu-gebu lagi dalam ‘merekrut’ orang-orang untuk ikut komunitas pengajiannya.

3. Sebagian kalangan meyakini bahwa syaikh, guru, kiyai, ustadz, atau apapun panggilannya, sebagai standar kebenaran yang wajib diikuti, entah dengan alasan orang tersebut sebagai “pembawa bendera Sunnah”, “pemegang panji jarh wa ta’dil”, atau “wali yang memiliki kasyaf”, dan semisalnya.

Dengan pemahaman yang baik terhadap dua konsep di atas, mereka akan bisa bersikap lebih proporsional, dan mendudukkan syaikh, guru, kiyai, atau ustadz tersebut, pada tempat yang seharusnya. Tetap dihormati, tetap diikuti jika beliau memang ahli ilmu, namun tidak lagi ditempatkan sebagai standar kebenaran yang wajib diikuti oleh semua, sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap orang boleh diikuti dan boleh ditinggalkan pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Wallahu a’lam.

Leave a Reply